Wednesday, February 3, 2016

KONSEP MA'RIFAT AL-GHOZALI



A. Pendahuluan
Dalam rentang sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi.
Sebelum al-Gazali sampai pada kesimpulan bahwa tasawuflah yang dapat membawa kepada pengetahuan yang hakiki, yang membawanya menjadi seorang sufi, ia telah meneliti dengan seksama pengetahuan yang ia miliki dan segala macam pendapat, paham atau ajaran yang berkembang di zamannya, serta mengevaluasi diri, yakni amal atau profesi yang selama ini ia kerjakan dan tekuni. Apa yang dikerjakan oleh al-Gazali ini menggambarkan proses perkembangan intelektual, emosional dan spiritual dalam sejarah kehidupannya untuk menemukan pengetahuan yang benar dan meyakinkan.

Di dalam bukunya, al-Munqiz, dan juga di dalam buku-bukunya yang lain, ia berulangkali memperingatkan para “pelajar” yang masih baru bahwa perjalanan menuju penemuan kebenaran itu ternyata lambat sekali, bahkan menjemukan dan berbahaya. Walaupun perjalanan seperti itu dapat menghantarkan si pencari mencapai suatu ketinggian tertentu untuk kepuasan diri dan juga dengan cepat menghantarkan mengenal Allah SWT., akan tetapi di dalam perjalanan tersebut terdapat banyak sekali titik-titik balik, selama proses pencariannya, yang dapat menyesatkan. Sekalipun demikian, menjadi pencari kebenaran yang tekun sesungguhnya lebih baik daripada peniru dan melalaikan usaha pencarian itu.
Menurut Ab­ al-Wafa’ al-Ganimiy al-Taftazaniy, selama periode kehidupannya di kota Baghdad, al-Gazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, juga filsafat. Ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Tetapi, ternyata, ilmu-ilmu itu tidak memberikannya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis. Akibat keadaan krisis ini, al-Gazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai Guru Besar Universitas Ni§amiyah; dan kemudian hidup menjadi seorang sufi.
Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri al-Gazali. Periode awal kehidupannya merupakan persiapan psikis baginya untuk menempuh jalan tasawuf. Dengan begitu, arah menuju Allah adalah obat yang menyembuhkan krisis spiritualnya. Ia menjalani suatu kehidupan baru, yaitu kehidupan asketis, ibadah, kontemplasi dan meditasi untuk penyempurnaan r­haniyah dan moral yang merupakan bagian integral dalam kehidupannya sebagai seorang sufi. Disinilah, katanya, ia menemukan pengetahuan yang hakiki atau kebenaran sejati (al-makrifat). Apakah hakikat makrifat atau kebenaran sejati itu?
Menarik untuk dipertanyakan, apakah hakikat makrifat itu? tetapi yang tidak kurang pula menariknya untuk dipertanyakan adalah apakah hakikat makrifat yang dikemukakan oleh al-Gazali itu tidak memberi efek negatif terhadap pengembangan daya kreativitas dan etos kerja umat Islam? Pertanyaan ini wajar muncul karena ada dugaan atau pendapat sebagian pengamat sosial masyarakat Islam yang mengatakan bahwa gara-gara ajaran al-Gazali inilah umat Islam menjadi tertinggal di bidang ilmu dan filsafat dibandingkan dengan umat lain. Dalam hal ini, karena al-Gazali dipandang sebagai salah seorang tokoh (ulama) yang sangat berpengaruh di dunia Islam, khususnya di belahan Timur. Begitu berpengaruhnya, hingga orientalis H.A.R Gibb mensejajarkan al-Gazali dengan Agustinus dan Luthor yang sangat berpengaruh dalam agama Kristen dalam pandangan keagamaan dan kemampuan intelektual.
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan ditelaah secara kritis dalam tulisan ini dengan tidak bermaksud mengurangi penghargaan terhadap jasa besar al-Gazali yang diakui oleh banyak pengamat dalam menghidupkan kembali ilmu tasawuf yang sempat mengalami nasib buruk karena dipandang tersesat oleh ulama (teolog dan fuqaha).
B. Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman.[1] Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[2] Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[3]
Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dala\m tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu dekian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[4] Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[5]
Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1) kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2) Ma’rifah adalah cermin, kkalau seorang arif melihat cermin itu yang akian dilihatnya hanyalah Allah.
3) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya….dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[6]
Dari beberapa defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetashui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
C. Arti dan Hakikat Makrifat
Makrifat, menurut al-Gazali berarti ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”. Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifah) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). Ibnu Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), seorang pemikir muslim yang mengatakakn pernah mengalami kasyf, menegaskan bahwa mencapai pengertian sempurna tentang kebenaran mutlak (al-haqq) atau Tuhan adalah mustahil. Namun perlu diingat bahwa:
Ibnu Taimiyah ingin membawa pengalaman memperoleh kasyf itu kepada tingkat proses intelektual yang sehat, dan dengan tegas ia menolak finalitas kasyf sebagai bentuk penemuan kebenaran atau Tuhan. menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan kasyf adalah sebanding dengan kesucian moral pada jiwa, yang tingkatan-tingkatan kesucian itu, sebenarnya, tidak ada batasnya. Maka Kasyf pun ada dalam tingkat-tingkat yang berkelanjutan tanpa batas.
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung. Teori seperti ini, tampaknya, merupakan konsensus yang sudah umum dikenal dalam ajaran mistisisme atau tasawuf Islam. Fazlur Rahman, dalam hal ini mengatakan:
Mistisisme (tasawuf) Islam menghasilkan teori pengetahuan sendiri, yang menyatakan bahwa apa yang dipelajari dari buku-buku sama sekali bukanlah pengetahuan; pengetahuan adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seorang sufi dalam pengalaman sufistik langsung. Kaum sufi menolak ilmu pengetahuan dalam bentuk pemikiran intelektual dan menganggapnya pasti membahayakan (menyesatkan). Pengalaman sufi ini bercirikan kelangsungan dan kepastian yang menjadikannya kebal terhadap kepalsuan dan aman dari keraguan.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Menurut Ibnu Khaldun, sebagian besar pembicaraan mereka (kaum sufi) tentang kasyf atau pengungkapan akan hakikat ketuhanan dan rahasia penciptaan alam adalah termasuk pernyataan yang bersifat ganda (al-mutasyabih), sebab ia didasarkan pada pengalaman sufistik. Mereka yang tidak memiliki pengalaman sufistik, sebagaimana yang dialami oleh kaum sufi, tidak akan dapat merasakan seperti yang mereka rasakan. Tak ada bahasa yang mampu mengungkapkan segala yang hendak dikemukakan sufi sehubungan dengan masalah ini. Bahasa diciptakan hanya untuk mengungkapkan konsep-konsep yang secara umum diterima, yang kebanyakan berupa pengalaman inderawi. Karena itu, tegas Ibnu Khaldun, kita tidak perlu bersusah payah mendiskusikan masalah ini dengan orang-orang sufi; kita biarkan saja segala persoalannya yang mengandung arti ganda itu. Ini berarti bahwa Ibnu Khaldun mengakui adanya kasyf, meskipun sifatnya sangat individualistik. Orang sufi memiliki dunia sendiri yang harus dipahami menurut pemahaman mereka sendiri.
Selanjutnya, demikian Ibnu Khaldun, seorang yang tulen tidaklah menganggap tinggi kasyf ini. Bukan itu saja, bahkan pengetahuan-pengetahuan yang demikian dipandang sebagai cobaan; dan karenanya seyogyanya para pengamal ajaran tasawuf bermohon kepada Allah untuk dilepaskan dari semua itu. Para sahabat telah melakukan mujahadah dan meraka pun mendapat karamah yang melimpah ruah, namun mereka menganggap tinggi kasyf tersebut.
Ibnu Khaldun dapat disebut sebagai salah satu tokoh yang mengusulkan agar intisari yang menjadi tujuan utama ajaran tasawuf, yaitu mencapai makrifat melalui pengalaman kasyfi, diubah. Tujuan tasawuf dibatasi hanyalah untuk tekun beribadah dan mengamalkan laku zuhud serta menjauhi kemewahan hidup duniawi, seperti halnya kehidupan para sahabat Nabi. Kalau terjadi pengalaman kasyfiy di tengah ketekunan beribadah, itu adalah godaan, tidak perlu digubris, karena agama tidak memerintahkan dan menyuruh mencari-cari pengalaman kasyfiy itu. Karena itu, kelirulah para pengamal ajaran tasawuf yang mencari-cari pengalaman kasyfiy itu, sehingga membuat macam-macam awrad yang tidak berdasar sunnah.
Kritik dan usul Ibnu Khaldun untuk tidak mementingkan penghayatan kasyfiy ini memang menarik, namun kurang realistik. Karena, apabila penghayatan makrifat dalam bentuk kasyf yang menjadi intisari tasawuf ditinggalkan atau tidak menjadi tujuan utama, tasawuf pasti akan gulung tikar, tidak menjadi tasawuf lagi. Para pengamal ajaran tasawuf yang dahulu disebut sufi hanya dapat disebut ‘abid atau zahid. Karena kurang realistik, maka ide Ibnu Khaldun ini tidak digubris atau tidak diperhatikan oleh para sufi sendiri.
Kalau Ibnu Khaldun ingin membatasi tujuan tasawuf pada memperbanyak ibadah dan hidup sederhana tanpa menekankan pada upaya pencapaian penghayatan kasyfi, maka Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim tetap mengakui penghayatan kasyfiy sebagai intisari dan tujuan utama tasawuf. Fazlur Rahman menyebut dua tokoh terakhir ini sebagai pembawa paham sufisme-baru atau neo-sufisme. Sufisme-baru ini, kata Rahman, mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian moral. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia.
Demikian, kritik mereka terhadap sufisme-lama. Kemudian, mereka mengusulkan perubahan orientasi yang menjadi tujuan utama dari ajaran dan pengamalan tasawuf. Jika didalami sungguh-sungguh ajaran tasawuf, upaya ini tidak akan mudah dikembangkan. Keyakinan kaum sufi tidak akan bisa ditawar, bahkan penghayatan kasyfiy adalah ilmu yang mendatangkan haqq al-yaqin. Ilmu yang mereka yakini sebagai pemberian Tuhan (laduniyah) diyakini lebih tinggi dan lebih benar dari ilmu yang didapat lewat proses belajar (ta’limiyyah). Karena itu, orang sufi yang tulen tidak akan tergoyahkan dan tidak akan tertarik dengan ide-ide baru yang memang tidak sejalan dengan dasar pikiran sufisme.
Meskipun orang-orang sufi berkeyakinan bahwa pengetahuan yang didapat lewat pengalaman kasfy adalah pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, tetapi ia tidak dapat dijadikan sebagai hujjah hukum. Hal ini, tampaknya telah disepakati oleh orang sufi. Ada konsensus di kalangan para sufi bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui, apakah sesuatu diperbolehkan atau dilarang, atau suatu perbuatan itu benar atau salah, hanyalah melalui Alquran, sunnah dan ijtihad para mujtahidin serta kesepakatan (ijma’) para ulama. Ini juga merupakan cara untuk mengetahui derajat kewajiban, apakah sesuatu bersifat wajib (fardu) atau terlarang (haram), dianjurkan (mand­b), kurang disukai (makr­h), atau dibolehkan (mubah). Dalam hal ini, kasyf seorang sufi tidak berperan, baik dalam menentukan legalitas segala sesuatu, atau menentukan tingkat kewajibannya. Tak ada seorang sufi terkemuka akan memperkenankan kasyf seorang untuk berbicara pada bidang yang sudah jelas diatur oleh syariat, untuk menyatakan apakah sesuatu sah atau tidak, khususnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pendapat para imam mazhab yang sudah membahas masalah tersebut. Sejauh berkenaan dengan syariat, seorang sufi tidak memiliki wewenang mempergunakan kasyf-nya. Memang, kasyf bagi seorang wali adalah argumen, tapi bukan bagi orang lain. Ini tentu berbeda dari ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid, yang hal tersebut merupakan argumen baginya dan bagi orang lain.


Al-Gazali sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-Alim Mahm­ud, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­d al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
D. Pengaruh Psikologis Tasawuf al-Ghazali
Secara umum, mungkin salah satu konsekuensi dari paham kasyf ini berakibat pada sebagian besar karya al-Gazali tidak berisi etos sosial, sehingga individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan; dan karena itu, banyak di antara pengikutnya yang lari dari pergumulan dunia konkret, menyisih dari arena pergulatan sosial dan menjadi sekedar penonton yang pasif dari dinamika proses sosial dan budaya masyarakatnya.
Menurut Yusuf Musa, meskipun al-Gazali, tampaknya, tidak membenarkan orang bersikap pasif dalam menghadapi kehidupan dunia, tetapi pada dasarnya ia lebih cenderung mengajarkan agar orang tidak usah terlibat dalam urusan dunia. Karena, duduk di dalam rumah untuk berzikir, kontemplasi dan ibadah, jauh lebih baik dari keluar rumah untuk berbelanja atau berusaha mencari kehidupan, sebab urusan dunia ini jelas akan mengacaukan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Karena itu, Yusuf Musa dengan tegas mengatakan bahwa konsep etika al-Gazali (yang berlandaskan pengalaman kasyf) tidak mendorong terhadap terciptanya perbaikan sosial, tetapi hanya terarah kepada terciptanya kebahagiaan individual, sebagaimana tergambar dalam ajarannya tentang zuhud, fakir dan tawakal. Dengan demikian, katanya, etika al-Gazali tidak mendorong terciptanya kesejahteraan umum, tapi hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan pribadi orang-orang tertentu, yakni orang sufi.
Boleh jadi, karena ajaran-ajaran tersebut, al-Gazali harus menerima pukulan dari beberapa ulama yang hidup belakangan. Salah satu pukulan yang paling berpengaruh ialah yang diberikan oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang banyak mengilhami gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab di jazirah Arabia dan kelak juga Muhamad ‘Abduh di Mesir. Pukulannya terutama ditujukan kepada pandangan hidup al-Gazali yang amat mementingkan kehidupan asketik begitu rupa sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan dunia.
Perbedaan tasawuf al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah dapat dilihat dampaknya dalam pandangan dan cara hidup masing-masing. Dalam hal ini, Hamka mengatakan:
“Amatlah berbeda pandangan hidup Ibnu Taimiyah dengan pandangan hidup al-Gazali, meskipun kedua-duanya bertasawuf. Tasawuf al-Gazali seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri sehingga kadang-kadang tidak memperdulikan hal kiri dan kanan”.
Sebagaimana ditulis oleh Zaki Mubarak, demikian Hamka memberikan contoh perbedaan pandangan dan sikap hidup al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah, bahwa ia kala al-Gazali hidup, dunia Islam sedang ditimpa malapetaka serangan kaum salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan penduduk telah beribu-ribu yang dibunuh, namun al-Gazali “tenggelam” dalam khalwatnya. Tetapi, Ibnu Taimiyah, kalau datang seruan berjihad pada “jalan” Allah, tampil ke medan perang, dialah yang terlebih dahulu mengambil tombak dan pedangnya, serta mengajak dan menghasung orang supaya bersama-sama mengorbankan jiwa dan raga mempertahankan agama. Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Rasyad Salim sebagai berikut:
Satu yang perlu dicatat tentang integritas kepribadian al-Gazali, yaitu sikap acuh tak acuh terhadap peristiwa politik yang terjadi semasa hidupnya … Tindakan Ibnu Taimiyah ketika menghadapi perbagai peristiwa pada masanya, sangat berbeda dengan al-Gazali. Ibnu Taimiyah tergugah bangkit melawan bangsa Tartar, melalui pena, lisan ataupun pedangnya.
Sebagaimana disebut di atas, Ibnu Taimiyah dikatakan oleh Fazlur Rahman sebagai perintis neo-sufisme. Konsep neo-sufisme yang digulirkan Ibnu Taimiyah ini dikemudian hari dikembangkan oleh beberapa ulama terkemuka, seperti Ahmad Sirhindi (871-1034 H./1564-1624 M.) dari anak benua India. Muhammad Abd. Haq Ansari yang secara khusus mengkaji pandangan sufisme Ahmad Sirhindi lewat disertasinya yang berjudul Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism mengatakan bahwa dalam masalah kasyf Sirhindi jauh berbeda dari al-Gazali. Pertama, ia menentang kasyf sebagai sumber pengetahuan mandiri yang sejajar dengan wahyu Ilahi berkaitan dengan masalah-masalah keimanan. Kedua, walau dalam posisi sebagai penafsir, namun demikian kasyf tidak terbebas dari kekeliruan, sebagaimana juga ijtihad dari seorang mujtahid, kasyf, seorang sufi dapat saja benar, tetapi juga dapat salah. Ketiga, apabila gagasan sufi dalam pandangan kasyf ternyata bertentangan dengan akidah (teologi) kaum ahl al sunnah, maka hal tersebut hendaknya dipandang sebagai produk mabuk (sakr) seorang sufi dan harus ditolak sebagai ketidakbenaran.
Ketika Hamka menulis bukunya yang terkenal, Tasawuf Modern, beliau sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar sufisme baru di tanah air kita. Di dalam buku itu terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat. Menurut Nurcholish Madjid, Hamka sesungguhnya masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Imam al-Gazali. Bedanya dengan al-Gazali ialah bahwa dia menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam, tetapi tidak dengan melakukan pengasingan diri (‘uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Pandangan ini paralel dengan kandungan sebuah risalah kecil yang berjudul al-R­haniyah al-Ijtima’iyah (Spiritualisme Sosial), terbitan Al-Markaz al-Islamiy (Islamic Center), Jenewa pimpinan Sa’id Ramadlan. Di dalamnya, antara lain, memuat peringatan keras terhadap cara hidup spiritualisme pasif dan tindakan isolatif. Isi buku kecil ini pada dasarnya, demikian kata Nurcholish Madjid, mengemukakan nilai yang sudah secara umum diketahui kaum muslimin, yaitu nilai atau prinsip keseimbangan (tawazun).
Prinsip keseimbangan ini juga dapat diperoleh dari ajaran Alquran. Allah SWT. berfirman: “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia) melanggar (prinsip) keseimbangan itu”. (QS. 55; 7-8). Kalau diperhatikan dengan sesama firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagat raya, sehingga melanggar prinsip ini merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagat raya. Kalau manusia disebut “jagat kecil” (mikrokosmos), maka, tidak terkecuali, manusia pun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.
Sebagai seorang cendekiawan muslim yang banyak mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik, semisal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta tokoh-tokoh pemikir modern, sepeti Fazlur Rahman dan Hamka, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa al-tasawuf al-‘a¡riy (tasawuf modern) atau neo-sufisme (sufisme-baru) yang memerlukan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisme-lama, dan lebih menekankan keseimbangan antara tuntutan jasmaniah dan ru­haniyah adalah pandangan yang konsisten dengan ajaran Islam yang sahih. Jika dilihat dari sudut perspektif pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, pandangan hidup partisipatif dalam kehidupan masyarakat ini jelas memberikan kondisi dan etos kerja yang lebih memungkinkan bagi pengembangan ilmu dan keselamatan umat manusia daripada sikap hidup isolatif yang lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Karena, memang, misi utama diutusnya Rasul SAW. adalah pemberi rahmat bagi seluruh alam.[7]
E. Kesimpulan
Makrifat menurut al-Gazali, berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan disebut pula oleh al-Gazali dengan ilmu yang meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Jadi, ia tidak hanya terhindar dari segala keraguan, tetapi juga terbebas dari segala kesalahan dan kekeliruan. Inilah, menurutnya, pengetahuan yang benar yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin) Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Karena itu, teori pengetahuan menurut al-Gazali disebut dengan kasyf yang menghasilkan ilmu mukasyafah sebagai kebalikan dari ilmu mu’amalah atau ilmu muktasabah.
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Apapun dan bagaimanapun kritik orang kepadanya, al-Gazali diakui amat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Dilihat dari sudut perkembangan tasawuf, dia telah mampu menciptakan “kerjasama” antara tasawuf dengan bidang-bidang lain, khususnya akidah dan syariah. Bahkan, kita telah berhasil memberikan tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam itu dalam keseluruhan paham keagamaan yang dipandang sah atau ortodoks. Beberapa orang pengamat memandang usaha al-Gazali merekonsiliasi antara tasawuf dengan aspek-aspek ajaran Islam yang lain, yang sebelumya sering dipertentangkan, adalah yang terbesar dan paling berhasil di antara usaha yang pernah dilakukan. Dikatakan, bahwa penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Gazali begitu hebatnya sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius dan tak sadarkan diri. Menurut Nurcholish Madjid, al-Gazali sedemikian komitnya memberikan penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat, yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual. Umat Islam tidak akan mendapatkan kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil mendobrak kamar tersebut.
Keterpenjaraan dan kemandekan kreativitas intelektual, seperti dinyatakan di atas, ternyata memang didukung oleh gejala-gejala pada umat Islam yang di sana pengaruh paham al-Gazali sangat dominan. Walaupun demikian, ia merupakan masalah besar yang masih kontroversial. Masih merupakan tanda tanya yang menuntut pengkajian yang mendalam, apakah memang karena paham yang dibawa al-Gazali itu, atau faktor lain hingga terjadi stagnasi kreativitas intelektual umat Islam. Wallah a'lam bishshawab.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India