A. Pendahuluan
Dalam rentang
sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang
panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang
mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang
benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi.
Sebelum
al-Gazali sampai pada kesimpulan bahwa tasawuflah yang dapat membawa kepada
pengetahuan yang hakiki, yang membawanya menjadi seorang sufi, ia telah
meneliti dengan seksama pengetahuan yang ia miliki dan segala macam pendapat,
paham atau ajaran yang berkembang di zamannya, serta mengevaluasi diri, yakni
amal atau profesi yang selama ini ia kerjakan dan tekuni. Apa yang dikerjakan
oleh al-Gazali ini menggambarkan proses perkembangan intelektual, emosional dan
spiritual dalam sejarah kehidupannya untuk menemukan pengetahuan yang benar dan
meyakinkan.
Di dalam
bukunya, al-Munqiz, dan juga di dalam buku-bukunya yang lain, ia berulangkali
memperingatkan para “pelajar” yang masih baru bahwa perjalanan menuju penemuan
kebenaran itu ternyata lambat sekali, bahkan menjemukan dan berbahaya. Walaupun
perjalanan seperti itu dapat menghantarkan si pencari mencapai suatu ketinggian
tertentu untuk kepuasan diri dan juga dengan cepat menghantarkan mengenal Allah
SWT., akan tetapi di dalam perjalanan tersebut terdapat banyak sekali
titik-titik balik, selama proses pencariannya, yang dapat menyesatkan.
Sekalipun demikian, menjadi pencari kebenaran yang tekun sesungguhnya lebih
baik daripada peniru dan melalaikan usaha pencarian itu.
Menurut Ab
al-Wafa’ al-Ganimiy al-Taftazaniy, selama periode kehidupannya di kota Baghdad,
al-Gazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, juga filsafat. Ia
mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguannya yang
muncul sejak ia mengajar. Tetapi, ternyata, ilmu-ilmu itu tidak memberikannya
ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya
tertimpa krisis psikis yang kronis. Akibat keadaan krisis ini, al-Gazali lalu
meninggalkan kedudukannya sebagai Guru Besar Universitas Ni§amiyah; dan
kemudian hidup menjadi seorang sufi.
Begitulah
timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri al-Gazali. Periode awal
kehidupannya merupakan persiapan psikis baginya untuk menempuh jalan tasawuf.
Dengan begitu, arah menuju Allah adalah obat yang menyembuhkan krisis
spiritualnya. Ia menjalani suatu kehidupan baru, yaitu kehidupan asketis,
ibadah, kontemplasi dan meditasi untuk penyempurnaan rhaniyah dan moral yang
merupakan bagian integral dalam kehidupannya sebagai seorang sufi. Disinilah,
katanya, ia menemukan pengetahuan yang hakiki atau kebenaran sejati
(al-makrifat). Apakah hakikat makrifat atau kebenaran sejati itu?
Menarik untuk
dipertanyakan, apakah hakikat makrifat itu? tetapi yang tidak kurang pula
menariknya untuk dipertanyakan adalah apakah hakikat makrifat yang dikemukakan
oleh al-Gazali itu tidak memberi efek negatif terhadap pengembangan daya
kreativitas dan etos kerja umat Islam? Pertanyaan ini wajar muncul karena ada
dugaan atau pendapat sebagian pengamat sosial masyarakat Islam yang mengatakan
bahwa gara-gara ajaran al-Gazali inilah umat Islam menjadi tertinggal di bidang
ilmu dan filsafat dibandingkan dengan umat lain. Dalam hal ini, karena
al-Gazali dipandang sebagai salah seorang tokoh (ulama) yang sangat berpengaruh
di dunia Islam, khususnya di belahan Timur. Begitu berpengaruhnya, hingga
orientalis H.A.R Gibb mensejajarkan al-Gazali dengan Agustinus dan Luthor yang
sangat berpengaruh dalam agama Kristen dalam pandangan keagamaan dan kemampuan
intelektual.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas akan ditelaah secara kritis dalam tulisan ini dengan tidak bermaksud
mengurangi penghargaan terhadap jasa besar al-Gazali yang diakui oleh banyak
pengamat dalam menghidupkan kembali ilmu tasawuf yang sempat mengalami nasib
buruk karena dipandang tersesat oleh ulama (teolog dan fuqaha).
B. Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah
berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan dan pengalaman.[1]
Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada
umumnya.[2]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud
berasal dari yang satu.[3]
Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada
salah satu tingkatan dala\m tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan
sebagai ilmu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu
dekian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya
itu, yaitu Tuhan.[4]
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan
hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[5]
Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah
sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari
dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang
sufi mengatakan:
1) kalau mata yang terdapat dalam
hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu
yang dilihatnya hanya Allah.
2) Ma’rifah adalah cermin, kkalau
seorang arif melihat cermin itu yang akian dilihatnya hanyalah Allah.
3) Yang dilihat orang arif baik
sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil
bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tak tahan melihat
kecantikan serta keindahannya….dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[6]
Dari beberapa defenisi tersebut
dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetashui rahasia-rahasia Tuhan
dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai
oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri
Tuhan.
C. Arti dan
Hakikat Makrifat
Makrifat,
menurut al-Gazali berarti ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu
”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan
apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin.
Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan
sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya
ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu
terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan
juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk
itu”. Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع
على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات
“Terbukanya
rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi
segala yang ada”.
Dari definisi
di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali
tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk.
Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat
makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya
tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya
peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang
dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah
dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat
dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan,
bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap
hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya,
al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap
ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang
kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari,
betapapun tingginya pengenalan (al-makrifah) seseorang terhadap Allah, ia tidak
akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat
terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). Ibnu
Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), seorang pemikir muslim yang mengatakakn pernah
mengalami kasyf, menegaskan bahwa mencapai pengertian sempurna tentang
kebenaran mutlak (al-haqq) atau Tuhan adalah mustahil. Namun perlu diingat
bahwa:
Ibnu Taimiyah
ingin membawa pengalaman memperoleh kasyf itu kepada tingkat proses intelektual
yang sehat, dan dengan tegas ia menolak finalitas kasyf sebagai bentuk penemuan
kebenaran atau Tuhan. menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan kasyf adalah sebanding
dengan kesucian moral pada jiwa, yang tingkatan-tingkatan kesucian itu,
sebenarnya, tidak ada batasnya. Maka Kasyf pun ada dalam tingkat-tingkat yang
berkelanjutan tanpa batas.
Makrifat dalam
arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera
atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui
pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf.
Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca,
meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada
seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung. Teori seperti ini,
tampaknya, merupakan konsensus yang sudah umum dikenal dalam ajaran mistisisme
atau tasawuf Islam. Fazlur Rahman, dalam hal ini mengatakan:
Mistisisme
(tasawuf) Islam menghasilkan teori pengetahuan sendiri, yang menyatakan bahwa
apa yang dipelajari dari buku-buku sama sekali bukanlah pengetahuan;
pengetahuan adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seorang sufi dalam
pengalaman sufistik langsung. Kaum sufi menolak ilmu pengetahuan dalam bentuk
pemikiran intelektual dan menganggapnya pasti membahayakan (menyesatkan).
Pengalaman sufi ini bercirikan kelangsungan dan kepastian yang menjadikannya
kebal terhadap kepalsuan dan aman dari keraguan.
Makrifat
sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada
orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi
yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi
antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah
dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan
duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara
simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara
tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Menurut Ibnu
Khaldun, sebagian besar pembicaraan mereka (kaum sufi) tentang kasyf atau
pengungkapan akan hakikat ketuhanan dan rahasia penciptaan alam adalah termasuk
pernyataan yang bersifat ganda (al-mutasyabih), sebab ia didasarkan pada
pengalaman sufistik. Mereka yang tidak memiliki pengalaman sufistik,
sebagaimana yang dialami oleh kaum sufi, tidak akan dapat merasakan seperti
yang mereka rasakan. Tak ada bahasa yang mampu mengungkapkan segala yang hendak
dikemukakan sufi sehubungan dengan masalah ini. Bahasa diciptakan hanya untuk
mengungkapkan konsep-konsep yang secara umum diterima, yang kebanyakan berupa
pengalaman inderawi. Karena itu, tegas Ibnu Khaldun, kita tidak perlu bersusah
payah mendiskusikan masalah ini dengan orang-orang sufi; kita biarkan saja
segala persoalannya yang mengandung arti ganda itu. Ini berarti bahwa Ibnu
Khaldun mengakui adanya kasyf, meskipun sifatnya sangat individualistik. Orang
sufi memiliki dunia sendiri yang harus dipahami menurut pemahaman mereka
sendiri.
Selanjutnya,
demikian Ibnu Khaldun, seorang yang tulen tidaklah menganggap tinggi kasyf ini.
Bukan itu saja, bahkan pengetahuan-pengetahuan yang demikian dipandang sebagai
cobaan; dan karenanya seyogyanya para pengamal ajaran tasawuf bermohon kepada
Allah untuk dilepaskan dari semua itu. Para sahabat telah melakukan mujahadah
dan meraka pun mendapat karamah yang melimpah ruah, namun mereka menganggap
tinggi kasyf tersebut.
Ibnu Khaldun
dapat disebut sebagai salah satu tokoh yang mengusulkan agar intisari yang
menjadi tujuan utama ajaran tasawuf, yaitu mencapai makrifat melalui pengalaman
kasyfi, diubah. Tujuan tasawuf dibatasi hanyalah untuk tekun beribadah dan
mengamalkan laku zuhud serta menjauhi kemewahan hidup duniawi, seperti halnya
kehidupan para sahabat Nabi. Kalau terjadi pengalaman kasyfiy di tengah
ketekunan beribadah, itu adalah godaan, tidak perlu digubris, karena agama
tidak memerintahkan dan menyuruh mencari-cari pengalaman kasyfiy itu. Karena
itu, kelirulah para pengamal ajaran tasawuf yang mencari-cari pengalaman
kasyfiy itu, sehingga membuat macam-macam awrad yang tidak berdasar sunnah.
Kritik dan usul
Ibnu Khaldun untuk tidak mementingkan penghayatan kasyfiy ini memang menarik,
namun kurang realistik. Karena, apabila penghayatan makrifat dalam bentuk kasyf
yang menjadi intisari tasawuf ditinggalkan atau tidak menjadi tujuan utama,
tasawuf pasti akan gulung tikar, tidak menjadi tasawuf lagi. Para pengamal
ajaran tasawuf yang dahulu disebut sufi hanya dapat disebut ‘abid atau zahid.
Karena kurang realistik, maka ide Ibnu Khaldun ini tidak digubris atau tidak
diperhatikan oleh para sufi sendiri.
Kalau Ibnu
Khaldun ingin membatasi tujuan tasawuf pada memperbanyak ibadah dan hidup
sederhana tanpa menekankan pada upaya pencapaian penghayatan kasyfi, maka Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim tetap mengakui penghayatan kasyfiy sebagai intisari
dan tujuan utama tasawuf. Fazlur Rahman menyebut dua tokoh terakhir ini sebagai
pembawa paham sufisme-baru atau neo-sufisme. Sufisme-baru ini, kata Rahman,
mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode
zikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi
sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks)
dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian
moral. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini cenderung untuk
menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif
kepada dunia.
Demikian,
kritik mereka terhadap sufisme-lama. Kemudian, mereka mengusulkan perubahan
orientasi yang menjadi tujuan utama dari ajaran dan pengamalan tasawuf. Jika
didalami sungguh-sungguh ajaran tasawuf, upaya ini tidak akan mudah
dikembangkan. Keyakinan kaum sufi tidak akan bisa ditawar, bahkan penghayatan
kasyfiy adalah ilmu yang mendatangkan haqq al-yaqin. Ilmu yang mereka yakini
sebagai pemberian Tuhan (laduniyah) diyakini lebih tinggi dan lebih benar dari
ilmu yang didapat lewat proses belajar (ta’limiyyah). Karena itu, orang sufi
yang tulen tidak akan tergoyahkan dan tidak akan tertarik dengan ide-ide baru
yang memang tidak sejalan dengan dasar pikiran sufisme.
Meskipun
orang-orang sufi berkeyakinan bahwa pengetahuan yang didapat lewat pengalaman
kasfy adalah pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, tetapi ia tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah hukum. Hal ini, tampaknya telah disepakati oleh orang
sufi. Ada konsensus di kalangan para sufi bahwa satu-satunya cara untuk
mengetahui, apakah sesuatu diperbolehkan atau dilarang, atau suatu perbuatan
itu benar atau salah, hanyalah melalui Alquran, sunnah dan ijtihad para
mujtahidin serta kesepakatan (ijma’) para ulama. Ini juga merupakan cara untuk
mengetahui derajat kewajiban, apakah sesuatu bersifat wajib (fardu) atau
terlarang (haram), dianjurkan (mandb), kurang disukai (makrh), atau
dibolehkan (mubah). Dalam hal ini, kasyf seorang sufi tidak berperan, baik dalam menentukan
legalitas segala sesuatu, atau menentukan tingkat kewajibannya. Tak ada seorang
sufi terkemuka akan memperkenankan kasyf seorang untuk berbicara pada bidang
yang sudah jelas diatur oleh syariat, untuk menyatakan apakah sesuatu sah atau
tidak, khususnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pendapat para imam
mazhab yang sudah membahas masalah tersebut. Sejauh berkenaan dengan syariat,
seorang sufi tidak memiliki wewenang mempergunakan kasyf-nya. Memang, kasyf
bagi seorang wali adalah argumen, tapi bukan bagi orang lain. Ini tentu berbeda
dari ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid, yang hal tersebut merupakan
argumen baginya dan bagi orang lain.
Al-Gazali
sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena
menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh
pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan
kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan
ini, menurut ‘Abd. al-Alim Mahmud, adalah tindakan bid’ah yang sangat
menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama
(Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian
Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi
bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Abd al-A’la
al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa
dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan
dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
D. Pengaruh Psikologis Tasawuf al-Ghazali
Secara umum,
mungkin salah satu konsekuensi dari paham kasyf ini berakibat pada sebagian
besar karya al-Gazali tidak berisi etos sosial, sehingga individu menjadi pusat
perhatian yang berlebihan; dan karena itu, banyak di antara pengikutnya yang
lari dari pergumulan dunia konkret, menyisih dari arena pergulatan sosial dan
menjadi sekedar penonton yang pasif dari dinamika proses sosial dan budaya
masyarakatnya.
Menurut Yusuf
Musa, meskipun al-Gazali, tampaknya, tidak membenarkan orang bersikap pasif
dalam menghadapi kehidupan dunia, tetapi pada dasarnya ia lebih cenderung
mengajarkan agar orang tidak usah terlibat dalam urusan dunia. Karena, duduk di
dalam rumah untuk berzikir, kontemplasi dan ibadah, jauh lebih baik dari keluar
rumah untuk berbelanja atau berusaha mencari kehidupan, sebab urusan dunia ini
jelas akan mengacaukan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Karena itu, Yusuf
Musa dengan tegas mengatakan bahwa konsep etika al-Gazali (yang berlandaskan pengalaman
kasyf) tidak mendorong terhadap terciptanya perbaikan sosial, tetapi hanya
terarah kepada terciptanya kebahagiaan individual, sebagaimana tergambar dalam
ajarannya tentang zuhud, fakir dan tawakal. Dengan demikian, katanya, etika
al-Gazali tidak mendorong terciptanya kesejahteraan umum, tapi hanya untuk
kebaikan dan kebahagiaan pribadi orang-orang tertentu, yakni orang sufi.
Boleh jadi,
karena ajaran-ajaran tersebut, al-Gazali harus menerima pukulan dari beberapa
ulama yang hidup belakangan. Salah satu pukulan yang paling berpengaruh ialah
yang diberikan oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang banyak mengilhami gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab di jazirah Arabia
dan kelak juga Muhamad ‘Abduh di Mesir. Pukulannya terutama ditujukan kepada
pandangan hidup al-Gazali yang amat mementingkan kehidupan asketik begitu rupa
sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan dunia.
Perbedaan
tasawuf al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah dapat dilihat dampaknya dalam pandangan
dan cara hidup masing-masing. Dalam hal ini, Hamka mengatakan:
“Amatlah
berbeda pandangan hidup Ibnu Taimiyah dengan pandangan hidup al-Gazali,
meskipun kedua-duanya bertasawuf. Tasawuf al-Gazali seakan-akan menolak hidup,
takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri sehingga kadang-kadang tidak
memperdulikan hal kiri dan kanan”.
Sebagaimana
ditulis oleh Zaki Mubarak, demikian Hamka memberikan contoh perbedaan pandangan
dan sikap hidup al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah, bahwa ia kala al-Gazali hidup,
dunia Islam sedang ditimpa malapetaka serangan kaum salib. Beberapa negeri
telah dibakar musnah dan penduduk telah beribu-ribu yang dibunuh, namun
al-Gazali “tenggelam” dalam khalwatnya. Tetapi, Ibnu Taimiyah, kalau datang
seruan berjihad pada “jalan” Allah, tampil ke medan perang, dialah yang
terlebih dahulu mengambil tombak dan pedangnya, serta mengajak dan menghasung
orang supaya bersama-sama mengorbankan jiwa dan raga mempertahankan agama.
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Rasyad Salim sebagai berikut:
Satu yang perlu
dicatat tentang integritas kepribadian al-Gazali, yaitu sikap acuh tak acuh
terhadap peristiwa politik yang terjadi semasa hidupnya … Tindakan Ibnu
Taimiyah ketika menghadapi perbagai peristiwa pada masanya, sangat berbeda
dengan al-Gazali. Ibnu Taimiyah tergugah bangkit melawan bangsa Tartar, melalui
pena, lisan ataupun pedangnya.
Sebagaimana
disebut di atas, Ibnu Taimiyah dikatakan oleh Fazlur Rahman sebagai perintis
neo-sufisme. Konsep neo-sufisme yang digulirkan Ibnu Taimiyah ini dikemudian
hari dikembangkan oleh beberapa ulama terkemuka, seperti Ahmad Sirhindi
(871-1034 H./1564-1624 M.) dari anak benua India. Muhammad Abd. Haq Ansari yang
secara khusus mengkaji pandangan sufisme Ahmad Sirhindi lewat disertasinya yang
berjudul Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to
Reform Sufism mengatakan bahwa dalam masalah kasyf Sirhindi jauh berbeda dari
al-Gazali. Pertama, ia menentang kasyf sebagai sumber pengetahuan
mandiri yang sejajar dengan wahyu Ilahi berkaitan dengan masalah-masalah
keimanan. Kedua, walau dalam posisi sebagai penafsir, namun demikian
kasyf tidak terbebas dari kekeliruan, sebagaimana juga ijtihad dari seorang
mujtahid, kasyf, seorang sufi dapat saja benar, tetapi juga dapat salah. Ketiga,
apabila gagasan sufi dalam pandangan kasyf ternyata bertentangan dengan akidah
(teologi) kaum ahl al sunnah, maka hal tersebut hendaknya dipandang sebagai
produk mabuk (sakr) seorang sufi dan harus ditolak sebagai ketidakbenaran.
Ketika Hamka
menulis bukunya yang terkenal, Tasawuf Modern, beliau sesungguhnya telah
meletakkan dasar-dasar sufisme baru di tanah air kita. Di dalam buku itu
terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan
esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu
harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat. Menurut
Nurcholish Madjid, Hamka sesungguhnya masih tetap dalam garis kontinuitas
dengan pemikiran Imam al-Gazali. Bedanya dengan al-Gazali ialah bahwa dia
menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam, tetapi tidak
dengan melakukan pengasingan diri (‘uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan
diri dalam masyarakat. Pandangan ini paralel dengan kandungan sebuah risalah
kecil yang berjudul al-Rhaniyah al-Ijtima’iyah (Spiritualisme Sosial),
terbitan Al-Markaz al-Islamiy (Islamic Center), Jenewa pimpinan Sa’id Ramadlan.
Di dalamnya, antara lain, memuat peringatan keras terhadap cara hidup
spiritualisme pasif dan tindakan isolatif. Isi buku kecil ini pada dasarnya,
demikian kata Nurcholish Madjid, mengemukakan nilai yang sudah secara umum
diketahui kaum muslimin, yaitu nilai atau prinsip keseimbangan (tawazun).
Prinsip
keseimbangan ini juga dapat diperoleh dari ajaran Alquran. Allah SWT.
berfirman: “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya
(prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia) melanggar (prinsip)
keseimbangan itu”. (QS. 55; 7-8). Kalau diperhatikan dengan sesama firman yang
mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu
bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagat raya,
sehingga melanggar prinsip ini merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar
hukum yang menguasai jagat raya. Kalau manusia disebut “jagat kecil”
(mikrokosmos), maka, tidak terkecuali, manusia pun harus memelihara prinsip
keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.
Sebagai seorang
cendekiawan muslim yang banyak mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik,
semisal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta tokoh-tokoh pemikir modern, sepeti
Fazlur Rahman dan Hamka, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa al-tasawuf
al-‘a¡riy (tasawuf modern) atau neo-sufisme (sufisme-baru) yang memerlukan
perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisme-lama, dan
lebih menekankan keseimbangan antara tuntutan jasmaniah dan ruhaniyah adalah
pandangan yang konsisten dengan ajaran Islam yang sahih. Jika dilihat dari
sudut perspektif pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, pandangan hidup partisipatif
dalam kehidupan masyarakat ini jelas memberikan kondisi dan etos kerja yang
lebih memungkinkan bagi pengembangan ilmu dan keselamatan umat manusia daripada
sikap hidup isolatif yang lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Karena,
memang, misi utama diutusnya Rasul SAW. adalah pemberi rahmat bagi seluruh
alam.[7]
E. Kesimpulan
Makrifat
menurut al-Gazali, berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Sebagai ilmu yang
tidak menerima keraguan disebut pula oleh al-Gazali dengan ilmu yang
meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka
dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak
mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Jadi, ia
tidak hanya terhindar dari segala keraguan, tetapi juga terbebas dari segala
kesalahan dan kekeliruan. Inilah, menurutnya, pengetahuan yang benar yang
dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin) Makrifat,
sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak
didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional,
tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan
sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak
dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Karena itu,
teori pengetahuan menurut al-Gazali disebut dengan kasyf yang menghasilkan ilmu
mukasyafah sebagai kebalikan dari ilmu mu’amalah atau ilmu muktasabah.
Teori
pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia
gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan
kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia.
Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup
partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan
kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Apapun dan
bagaimanapun kritik orang kepadanya, al-Gazali diakui amat berjasa dalam
menstabilkan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Dilihat dari sudut
perkembangan tasawuf, dia telah mampu menciptakan “kerjasama” antara tasawuf
dengan bidang-bidang lain, khususnya akidah dan syariah. Bahkan, kita telah
berhasil memberikan tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam itu dalam
keseluruhan paham keagamaan yang dipandang sah atau ortodoks. Beberapa orang
pengamat memandang usaha al-Gazali merekonsiliasi antara tasawuf dengan aspek-aspek
ajaran Islam yang lain, yang sebelumya sering dipertentangkan, adalah yang
terbesar dan paling berhasil di antara usaha yang pernah dilakukan. Dikatakan,
bahwa penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Gazali begitu hebatnya sehingga
memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius dan tak
sadarkan diri. Menurut Nurcholish Madjid, al-Gazali sedemikian komitnya
memberikan penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam itu, sehingga yang
terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar
untuk umat, yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek
pemenjaraan kreativitas intelektual. Umat Islam tidak akan mendapatkan kembali
dinamika intelektualnya jika tidak berhasil mendobrak kamar tersebut.
Keterpenjaraan
dan kemandekan kreativitas intelektual, seperti dinyatakan di atas, ternyata
memang didukung oleh gejala-gejala pada umat Islam yang di sana pengaruh paham
al-Gazali sangat dominan. Walaupun demikian, ia merupakan masalah besar yang
masih kontroversial. Masih merupakan tanda tanya yang menuntut pengkajian yang
mendalam, apakah memang karena paham yang dibawa al-Gazali itu, atau faktor
lain hingga terjadi stagnasi kreativitas intelektual umat Islam. Wallah a'lam
bishshawab.
0 comments:
Post a Comment