Romo KH. Mustolih Badawi (Alm)
Pengasuh PP. Al Ihya Ulumaddin yang di peringati Haulnya setiap satu tahun sekali di PP. Jabal Nur Maos Cilacap.
Santri Putri
Para santri putri peserta Hataman berfoto-foto usai pelaksanaan Haul KH. Mustolih Badawi di PP. Jabal Nur Maos Cilacap.
Thursday, December 4, 2014
Friday, November 7, 2014
MARI TADABBUR WAKTU (ALLOH BERFIRMAN DEMI MASA)
5:23 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
"Ternyata
Kita Hanya Hidup 0,15 Detik Saja, atau 1,5 Jam Waktu Akhirat"
Mohon
waktunya sebentar,, dan maaf, bukan bermaksud untuk menggurui. Saling berwasiat
dalam hal kebaikan adalah kwajiban sesama Muslim. Mari kita baca dengan seksama
dengan tempo se-slow-slownya...
Bismillahir rahmanir rahim..."Demi masa... Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan
saling menasehati supaya menetapi kesabaran". (QS. al-Ashr: 1-3)
Mengawali catatan ini, saya mulai dengan surat al-Ashr ayat
1-3. Dalam ayat tersebut, Allah swt. bersumpah demi waktu karena memang waktu
manusia hidup di bumi ini sangat singkat sekali. Oleh karena itu, sudah
selayaknya kita menggunakan waktu sebaik mungkin agar tidak termasuk dalam
kategori golongan orang yang rugi.
Menururt perhitungan para Astronom dan Fisikawan dari NASA,
hidup manusia ternyata sangatlah singkat. Berdasarkan pendekatan kosmik
menyimpulkan bahwa; Rata-rata manusia di bumi ini hanya hidup selama 0,15 detik
kosmik. Jika dihitung berdasarkan kalender waktu yang berlaku di bumi, maka
kita hidup hanya berkisar 70 tahun. Karena 0,15 detik kosmik setara 70 tahun,
karena 1 detik kosmik sama dengan 475 tahun.
Waktu kosmik itu sendiri adalah waktu yang menggambarkan
umur alam semesta ini yang diperkirakan 15 milyar tahun. Karena itu para
Astronom mendefinisikan umur kosmik, yaitu dengan cara mengandaikan umur alam
semesta seakan-akan hanya 1 tahun, maka setiap detik kosmik adalah 475 tahun penanggalan
kalender bumi.
Sedangkan berdasarkan pendekatan Dalam al-Quran, perbedaan
waktu (waktu dunia dengan waktu akhirat) itu bisa dilihat dalam surat
as-Sajadah ayat 5:
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan)
itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu”.
Jadi, dalam ayat tersebut disampaikan bahwa: perbandingan
waktu dunia dengan waktu akhirat itu "satu hari di akhirat sama dengan
1000 tahun di dunia". Sungguh, suatu waktu yang sangat lama dan berbeda
sangat tajam, hingga wajarlah jika Allah swt bersumpah demi waktu.
Dan kalau kita bandingkan dengan umur kita hidup di dunia
ini dengan waktu di akhirat, dan kita ambil nilai rata-rata usia hidup manusia
pada saat ini (yaitu berkisar umur 60-an tahun), atau kita ambil contoh dari
Rasulullah Saw yang hidup sampai usia 63 tahun, maka usia kita hidup di dunia
ini hanya 1,5 jam waktu akhirat. Subhanallah….
Mari
kita sama-sama belajar menghitung:
1.000
tahun di dunia = 1 hari di akhirat.
24
jam akhirat = 1.000 tahun dunia.
12
jam akhirat = 500 tahun dunia.
6
jam akhirat = 250 tahun dunia.
3
jam akhirat = 125 tahun dunia.
1,5
jam akhirat = 62,5 tahun dunia.
Tuesday, October 28, 2014
POSITF THINKING
5:39 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
HATI-HATI !
Hati-hati dengan pikiran jangan-jangan menjadi ucapan;
Hati-hati dengan ucapan jangan-jangan menjadi tindakan;
Hati-hati dengan tindakan jangan-jangan menjadi kebiasaan;
Hati-hati dengan kebiasaan jangan-jangan menjadi nasibmu.
Wednesday, May 21, 2014
MEMILIH PEMIMPIN
7:32 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
Mengacu pada
farman Alloh dalam surat Al-anfal ayat 27-28 dapat dimengerti betapa beswar
tanggung jawab para pemegang amanat di sisi Alloh. firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ، وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS.
Al-Anfal: 27-28)
Kedua ayat ini, zahirnya, berisi
larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah
bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita
benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah – berargumen dengan ayat ini atas
kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat
eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya,
agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan
untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat
untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada.
Barangsiapa yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas
relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan
harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang
semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat
Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman .
Ibnu Taimiyah
melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan kepada anaknya, maka
ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan haknya. Ada juga orang, yang
karena ingin menambah kekayaan atau demi mengamankan usahanya ia berkolusi
untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang yang berlaku demikian, kata ulama yang
lebih dikenal dengan syaikhul Islam ini, telah mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya, juga mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya .
Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari
berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk
suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib
(al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam
pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati
dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama .
Friday, May 9, 2014
HUKUM BACAAN TAFKHIM DAN TARQIQ
7:50 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
A. Pengertian Tafkhim dan Tarqiq
Tafkhim
(تَفْخِيْمُ)
merupakan masdar dari fakhkhama (فَخَّمَ) yang berarti menebalkan. Sedang yang
dimaksud dengan bacaan tafkhim adalah membunyikan huruf-huruf tertentu dengan
suara atau bacaan tebal.
Pada
pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa bacaan-bacaan tafkhim itu menebalkan
huruf tertentu dengan cara mengucapkan huruf tertentu dengan cara mengucapkan
huruf di bibir (mulut) dengan menjorokkan ke depan (bahasa Jawa mecucu), bacaan
tafkhim kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ul mufakhkhamah (مُفَخَّمَةٌ).
Tarqiq
(تَرْقِيْقٌ)
merupakan bentuk masdar dari roqqoqo
(رَقَّقَ) yang berarti menipiskan. Sedang
yang dimaksud dengan bacaan tarqiq adalah membunyikan huruf-huruf tertentu
dengan suara atau bacaan tipis.
Pada
pengertian itu tampak, bahwa tarqiq menghendaki adanya bacaan yang tipis dengan
cara mengucapkan hurur di bibir (mulut) agak mundur sedikit dan tmpak agak
meringis. Bacaan tarqiq kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ulnya, yakni
muraqqoqoh (مُرَقَّقَةٌ).
B. Bacaan Tafkhim
Huruf
hijaiyah yang wajib dibaca tafkhim terdapat tujuh huruf, yaitu huruf isti’la
yang berkumpul pada kalimat: خُصَّ ضَغْطِ قِظْ, kesemuanya harus dibaca tebal.
Contoh:
اُدْ خُلُوْهَا، وَالصَّآفَّاتِ، غَاسِقٍ، فَضَّلْنَا
بَعْضَهُمْ، وَالطَّيِّبُوْنَ، فَالْحَقُّ اَقُوْلُ.
Selain ketujuh huruf tersebut harus
dibaca tarqiq, kecuali huruf lam dan ra, yang mempunyai ketentuan sendiri.
Pertama,
huruf lam tetap dibaca tafkhim jika berada pada lafal jalalah (لَفْظُ الْجَلاَلَةِ), yakni lam yang terdapat pada lafal: dengan syarat agar lam
itu didahului tanda baca fathah atau dammah.
Contoh:
صَلاَةُ اللهِ، سَلاَمُ اللهِ، سُبْحَانَ اللهِ، شَهِدَ اللهُ.
Kedua, ra wajib dibaca tafkhim
(tebal) apabila:
- Ra bertanda baca fathah. Contoh:
رَحْمَةَ اللهِ، حَشَرَةٌ، اَلرَّحِيْمِ، اَلْفُقَرَآءَ
- Ra bertanda baca dammah. Contoh:
اَ ْلاَخْيَارُ، كَفَرُوْا، اُذْكُرُوا اللهَ، رُفِعَتْ
- Ra bertanda sukun (mati), sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang difathah. Contoh:
مَرْحَبًا، نَرْزُقُكُمْ، مَرْيَمُ، قَرْيَةٍ
- Ra bertanda suku, sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang didammah. Contoh:
ذُرِّيَّةً، قُرْبَةً، عُرْيَانًا، حُرْمَةً
- Ra yang bertanda baca sukun, sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang dikasrah, namun kasrah ini bukan asli tetapi baru datang. Contoh:
اِرْجِعِيْ، اِرْحَمْ، اِرْجِعُوْا، اَمِ ارْتَابُوْا
- Ra bertanda baca sukun, sedang huruf di belakangnya berharakat kasrah asli dan sesudah ra bertemu dengan huruf isti’la (حَرْفُ اِسْتِعْلاَءٍ) yang terdapat tujuh huruf yang terkumpul pada kalimat: خُصَّ ضَغْطٍ قِظْContoh:
يَرْضَاهُ، فُرْقَةٌ، لَبِالْمِرْصَادِ، قِرْطَاسٌ
C. Bacaan Tarqiq
Pertama,
huruf lam dibacan tarqiq (tipis), jika huruf lam berada dalam lam jalalah yang
didahului huruf yang bertanda baca kasrah. Contoh:
اَلْحَمْدُ ِللهِ، بِاللهِ، مِنْ عِنْدِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ
Semua
lam yang tidak berada pada lafal jalalah sebagaimana dijelaskan di atas, maka
harus dibaca tarqiq (tipis). Contoh:
لَيَعْلَمُوْنَ، اِلَى اْلاِبِلِ، مِنَ الْعِلْمِ، كَلاَّ
لَوْتَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ، بَكُلِّ آيَةٍ
Kedua, huruf ra wajib dibaca tarqiq
(tipis) jika:
- Huruf ra bertanda baca kasrah. Contoh:
رِضْوَانٌ، مَعْرِفَةٌ، رِجْسٌ، سَنُقْرِئُكَ
- Huruf ra bertanda baca hidup yang jatuh setelah ya mati atau huruf lien. Contoh:
اَلْكَبِيْرُ، مِنْ خَيْرٍ، اَلْبَصِيْرُ، لَخَبِيْرٌ
- Huruf ra mati dan sebelumnya ada huruf yang berharakat kasrah asli, sedang sesudah ra bukan huruf isti’la. Contoh:
شِرْكٌ، اَاَنْذَرْتَهُمْ، فِرْعَوْنَ، لَشِرْذِمَةٌ
Thursday, March 6, 2014
HIDUP SETELAH MATI
7:26 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
Bagaimanakah keadaan manusia setelah
mati? Pertanyaan ini sering singgah dalam hati kita, dan Insya Allah akan kami
jawab dengan berbagai sumber ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Saw.
Karena tema ini berkaitan dengan ruh, maka Allah Swt telah berfirman yang
artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit" (al-Isra': 85)
Hakikat Kematian
Mati bukanlah antonym (lawan kata)
dari ketiadaan. Makhluk yang pada awalnya belum terwujud kemudian diciptakan
oleh Allah, maka ketika ia mati bukan berarti musnah dan tidak ada seperti
sedia kala. Oleh karenanya, para ulama seperti Imam al-Ghazali, al-Qurthubi,
Ibnu Rajab al-Hanbali dan lainnya mendefinisikan kematian dengan redaksi:
"Mati adalah berpisahnya ruh dari jasadnya dan proses perpindahan dari
satu alam ke alam yang lain" (Tadzkirah al-Qurthubi 459)
Alam Kubur (Alam Barzakh)
Sebagaimana dijelaskan dalam
hadis-hadis sahih, misalnya hadis riwayat Abu Dawud (No 4753) yang dinyatakan
oleh Rasulullah Saw bahwa ruh manusia akan dikembalikan ke jasadnya saat
didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir. Ini menunjukkan bahwa di alam Barzakh
manusia menjalani kehidupan sebagai kelanjutan hidup di alam dunia. Bahkan
kehidupan di alam kubur adalah tahap pertama untuk menuju pada kehidupan
akhirat, seperti dalam hadis berikut ini:
"inna al qabra awwalu manzilin min manazil al-akhirati fa man naja minhu fa ma ba'dahu aisaru minhu, wa in lam yanju fa ma ba'dahu asyaddu minhu", Artinya: "Sesungguhnya kubur adalah jenjang pertama menuju ke jenjang-jenjang akhirat. Barangsiapa yang selamat dari qubur, maka jenjang berikutnya lebih mudah. dan jika tidak selamat maka jenjang berikutnya lebih berat" (HR Turmudzi dari Utsman bin Affan, Turmudzi berkata: Hadis ini hasan gharib)
Yang dimaksud dengan jenjang-jenjang
menuju Akhirat adalah (1) Ba'ts, manusia dibangkitkan dari alam kubur setelah
kiamat. (2) Mahsyar, manusia digiring menuju alam Mahsyar. (3) Mizan, manusia
ditimbang amal baik dan buruknya.(4) Shirat, manusia akan melewati jembatan,
jika selamat ia masuk surga, jika tidak selamat ia masuk neraka.
Saturday, February 15, 2014
LANGKAH-LANGKAH MENJADI PEMAAF
5:05 PM
Pon-Pes Jabal Nur Cilacap
No comments
Kita sebagai makhluk sosial yang bergaul di
tengah masyarakat, tentu saja dalam kehidupan kita sehari-hari terkadang atau
bahkan sering kita mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya atau sikap-sikap
yang seharusnya tidak kita dapatkan, mungkin dari tetangga, teman sejawat, atau
siapa saja yang kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita. Sikap-sikap tersebut,
tidak jarang menimbulkan kerugian bagi kita; nama baik kita tercemar,
kehilangan harta, dijauhi oleh masyarakat, dan lain sebagainya. Keadaan ini
sering membuat kita marah dan kecewa, sehingga kita ingin membalas perbuatan
orang-orang tersebut dan sulit untuk memaafkan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, Khatib ingin
menyampaikan bagaimana caranya agar kita mudah memaafkan orang lain, dan
melapangkan dada kita dari sikap-sikap manusia yang berbuat zalim kepada kita.
Agama kita sangat mengajurkan untuk memaafkan
orang lain. Di antara bukti anjuran itu adalah Allah janjikan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi untuk orang yang memaafkan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن
رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ ﴿١٣٤﴾
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)
Namun pada praktikknya, bersabar dan memaafkan
gangguan orang lain ini bukanlah perkara yang mudah. Bagi kita bersabar atas
musibah samawiyah seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, rasa sakit
yang kita derita, dll. Musibah seperti ini relatif lebih mudah bagi kita untuk
bersabar, tetapi kalau musibah itu ditimbulkan akibat gangguna orang lain lebih
sulit bagi kita untuk bersabar. Mudah-mudahan dengan apa yang akan saya sampaikan mengenai tujuh sikap untuk meraih predikat pemaaf ini tertanam di
hati kita, maka kita akan lebih mudah untuk memaafkan orang lain.
Pertama: Sikap yang pertama adalah kita
meyakini bahwa perbuatan orang kepada kita adalah bagian dari takdir Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang Dia tetapkan untuk kita. Allah-lah yang menciptakan
perbuatan para hamba, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُونَ
“Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat: 96)
Oleh karena itu, kita pandang perbuatan yang
tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang-orang kepada kita adalah takdir
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Dan sebagai hamba Allah, kita
menerima dan beriman kepada takdir yang Allah tetapkan. Kita taruh dalam benak
kita bahwa orang-orang ini adalah hanya sebagai alata atau perantara takdir
Allah itu terjadi pada kita. Sehingga kita paham bahwa Allah-lah yang pada hakikatnya
menimnpakan musibah kepada kita melalui orang yang berbuat aniaya kepada kita.
Kedua: Ingatlah bahwa kita banyak
melakukan perbuatan dosa.
Dan musibah ini terjadi juga karena disebabkan
dosa-dosa kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang berbuat
aniaya kepada kita karena perbuatan dosa yang kita lakukan.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura:
30)
Oleh karena dosa-dosa yang kita lakukan, maka
wajar ada orang yang berbuat aniaya kepada kita. Allah menakdirkan hal tersebut
sebagai pengingat bagi kita yang banyak melakukan dosa atau juga sebagai
balasan karena kita pernah berbuat aniaya kepada orang lain.
Ketiga: Tanamkan pada diri kita bahwa
bersabar dan memaafkan mendatangkan pahala yang sangat besar.
Di antara pahala tersebut adalah Allah katakan
orang yang sabar itu bersama Allah.
إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ
بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa mema’afkan dan berbuat baik
maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)
Inilah beberapa ayat yang menjanjikan pahala yang
begitu luas bagi orang-orang yang memaafkan.
Keempat: Hendaklah kita tanamkan di jiwa
kita sebuah prinsip bahwa balasan itu tergantung bentuk perbuatannya.
Ketika kita sadar bahwa kita adalah orang yang
banyak berbuat dosa kepada Allah Ta’ala, baik disebabkan oleh hati
kita, lisan kita, atau anggota badan kita, baik yang kita sadari maupun yang
tidak kita sadari, maka tentunya kita akan amat sangat butuh ampuna Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dengan kita memberikan maaf kepada orang-orang yang telah
bersalah kepada kita, orang-orang yang bersifat buruk kepada kita, dengan
amalan ini kita berharap Allah pun mengampuni kita atas perbuatan dosa
kita dan aniaya kita terhadap diri sendiri.
Kita berharap, ketika kita mudah memaafkan orang
lain, mudah-mudahan Allah pun akan mudah memaafkan segala kesalahan kita.
Inilah buah dari prinsip “balasan itu tergantung jenis atau bentuk amalan yang
dilakukan”.
Kelima: Tidak membalas perbuatan aniaya
orang lain kepada kita adalah sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kita semua yakin tidak ada orang yang lebih mulia
dan tidak ada orang yang lebih agung harga dirinya, lebih terhormat, daripada
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersamaan dengan itu,
tidak pernah satu kali pun beliau membalas penganiyaan orang lain terhadap
dirinya. Kita yang kehormatan dan harga diri jauh dibandingkan dengan nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas lagi untuk memaafkan
orang-orang yang berbuat tidak baik kepada kita.
Inilah poin dari memaafkan adalah bagian dari
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membalas adalah bukan
bagian dari sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau senantiasa memaafkan dan tidak pernah membalas.