Wednesday, May 21, 2014

MEMILIH PEMIMPIN


            Mengacu pada farman Alloh dalam surat Al-anfal ayat 27-28 dapat dimengerti betapa beswar tanggung jawab para pemegang amanat di sisi Alloh. firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ، وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28)
Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah – berargumen dengan ayat ini atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Barangsiapa yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman .
Ibnu Taimiyah melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan kepada anaknya, maka ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan haknya. Ada juga orang, yang karena ingin menambah kekayaan atau demi mengamankan usahanya ia berkolusi untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang yang berlaku demikian, kata ulama yang lebih dikenal dengan syaikhul Islam ini, telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya .
Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama .

Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa fungsi jabatan apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini berlaku untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti presiden, panglima perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain sebagainya., sampai jabatan terendah seperti pimpinan rombongan dalam sebuah perjalanan. Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena ia akan dipertanggungjawabkan di dunia kepada rakyat, dan kepada Allah kelak di akhirat. Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang sempat meminta jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim, no:1826).
Terdapat beberapa indikator di dalam Al-qur’an, sebagai acuan kita dalam memilih pemimpin. Pertama, bahwa seorang kandidat harus memiliki track record yang baik sebelum ia diangkat sebagai pemimpin, ia memiliki misi dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika Allah swt. mengangkat nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin bagi seluruh manusia, karena prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang diembannya. Ibrahim dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid dan mengembalikan loyalitas dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah semata. Sejak remaja, ketika ia berhasil menumbangkan berhala-berhala lalu ia dibakar hidup-hidup, hingga usianya yang senja, ketika diuji agar menyembelih putranya, Ismail, dan membangun Ka’bah sebagai lambang kemurnian tauhid, Ibrahim tetap konsisten dalam memegang idealismenya, yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam semesta. Namun ketika Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak keturunannya sebagai pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak boleh orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah: 124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas panggung kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh. Tepatlah ucapan khalifah Umar bin Khatthab ra. dalam sebuah do’anya, “Ya Allah, ku mengeluh kepada-Mu, mengapa sang pendosa memiliki kekuatan sedang orang yang terpercaya seringkali lemah”.
Kedua, kita harus mengangkat pemimpin yang seiman. Allah berfirman, “Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka..” (QS. Ali Imran: 28).
Ketiga, memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul kelompok, partai, dan relasi-relasi dekat sang kandidat. Karena betapapun bersih dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan, kelompok atau partai yang busuk, lambat laun keshalihannya akan terkikis dan keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi menjustifikasi prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi”. (QS. Ali Imran: 118).
Keempat, pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang yang ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala jalan dan menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, di antaranya menyuap (money politic), memalsukan berkas-berkas pencalonan dan sebagainya. Ketika berhasil menjabat, orang demikian, tidak akan segan-segan melakukan praktek kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi sebesar-besarnya, sekalipun dengan melanggar HAM atau merusak flora dan fauna. Firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 204-205).
Selain itu, masih terdapat indikator-indikator lain dalam memilih pemimpin dalam Alqur’an, seperti ia harus mempunyai intergritas keilmuan yang terkait dengan kepemimpinannya, sehat jasmani-ruhani dan sebagainya. (QS. Al-Baqarah: 247 dan Al-Qashash: 26).
Di alam demokrasi, seperti di negeri ini, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan, baik pada tingkat nasional maupun lokal, berada di tangan setiap individu, kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan kandidat pemimpin yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan dan moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi dan misi dakwah rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan secara konstitusional sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita bakal diperintah oleh sekelompok orang yang tak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa ini ke depan. Na’udzu biLlah min dzalik.
Terimakasih.









اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَ ْلحَمْدُ ِللهِ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، اَلْعَزِ ْيزُ الْغَفَّارُ، مُكَوِّرُ الَّليْلِ عَلىَ النَّهَارِ، تَذْكِرَةً ِلأُوليِ الْقُلُوْبِ وَاْلأَبْصَارِ، وَتَبْصِرَةً لِذَوِي اْلأَلْبَابِ وَاْلاِعْتِبَارِ، اَلَّذِي أَيْقَظَ مِنْ خَلْقِهِ مَنْ اصْطَفَاهُ فَزَهَّدَهُمْ فيِ هَذِهِ الدَّارِ، وَشَغَّلَهُمْ بِمُرَاقَبَتِهِ وَإِدَامَةِ اْلأَفْكَارِ، وَمُلاَزَمَةِ اْلاِتْعَاظِ وَاْلاِدْكَارِ، وَوَفَّقَهُمْ لِلدَّأْبِ فيِ طَاعَتِهِ، وَالتَّأَهُّبِ لِدَّارِ الْقَرَارِ، وَاْلحَذْرُ مِمَّا يَسْخَطَهُ وَيُوْجِبُ دَارَ الْبَوَارِ، وَالْمُحَافَظَةُ عَلىَ ذَلِكَ مَعَ تَغَايُرِ اْلأَحْوَالِ وَاْلأَطْوَارِ ، اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ خَيْرِ اْلبَشَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِى عَلَّمَ اْلاِسْلاَمَ بِالسِّرِّ وَاْلإِظْهَارِ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْبَرُّ الْكَرِ يْمُ، اَلرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، اْلهَادِي إِلىَ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَالدَّاعِي إِلىَ دِيْنٍ قَوِيْمٍ. صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلىَ سَائِرِ النَّبِيِّيْنَ وَ الصَّاِلحِيْنَ {أَ مَّا بَعْدُ}
فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِتَقْوَ ى اللهِ ، اِتَّقُوا اللهَ مَاسْتَطَعْتُمْ ، وَسَارِعُوْا إِلىَ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . فَقَالَ اللهُ تَعَالىَ فىِ الْقُرْآن ِالْكَرِ يْمِ : اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ {آل عمران : 159} صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْم وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ الْكَرِ يْم وَ نَحْنُ عَلَى ذَالِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِ يْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
HADIRIN SIDANG JUM’AT YANG DIRAHMATI OLEH ALLAH SWT
Sebagai seorang khatib disetiap jum’at selalu berwasiat kepada diri khatib sendiri dan juga kepada seluruh jama’ah jum’at untuk terus meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala yakni dengan cara melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya tanpa harus memilih-milih perintah dan larangan yang selaras bagi diri kita saja dan menafikan perintah dan larangan lainnya.

HADIRIN RAHIMAKUMULLAH
Ada beberapan terma tentang kepemimpinan dalam sajarah panjang Islam di dunia ini, seperti amir, imam, khalifah, rais dll. akan tetapi dalam perkembangannya, terma-terma di atas hanya menjadi sebuah nama tanpa diketahui makna dan substansi yang sesungguhnya. oleh karenanya pada kesempatan jum’at ini, khatib ingin sekali mengajak kepada kita semua untuk melakukan kontemplasi secara mendalam dalam mengarungi amanah kepemimpinan di muka bumi ini. Berawal dari sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَالإِمَامُ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ » قَالَ « وَالرَّجُلُ فِى مَالِ أَبِيهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
 Artinya : “Disampaikan kepada kami oleh Abu al-Yaman, kami diberitahu oleh Syu’aib dari al-Zuhri berkata, disampaikan kepadaku oleh Slim bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ra. bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda; setiap kalian adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang pria adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang pembantu adalah pemimpin terhadap amanah atasannya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya. Lanjutnya, dan seorang anak adalah pemimpin terhadap amanah orangtuanya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, maka kalian semua adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dipinta laporan pertanggungjawabannya.” [HR. al-Bukhari]
Hadirin, jika kita dalami isi hadits ini, sungguh begitu rinci Rasulullah Muhammad saw dalam mengklasifikasi arti dan tugas kepemimpinan dalam Islam. Dan ungkapan yang selalu diulang-ulang olehnya “dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya” merupakan bukti sangat ditekankannya untuk menunaikan amanah kepemimpinan dari setiap orang. Maka sungguh menjadi orang yang sangat merugi jika harus bertanggung jawab di hadapan Allah dengan bukti kezhaliman, bukti kedurhakaan, bukti ketakabburan, dan bukti kemunafikan, na’udzubillahi min dzalik. Lalu bagaimanakah cara membangun kepribadian yang berdiri di atas pondasi amanah tersebut ;
  1. Selalu Mengingat Allah swt.
Sebuah ungkapan yang begitu mudah terlontar dari lisan namun sulit dalam tataran implementasi. Namun bukan berarti kita harus pesimis dalam menerapkannya, karena siapapun yang terus bersusaha pasti akan mendapatkan hasil yang baik. Adapun kata mengingat Allah sering di disebut dengan istilah dzikrullah, dan jika dicari syarah atau penjelas dari kata tersebut maka di dapatkan bahwa alat untuk mengingat Allah itu adalah ; (1) lisan, dalam artian bahwa seluruh ungkapannya adalah kebaikan, tidak ada hinaan, fitnah, kebohongan, dusta dll. (2) akal, yakni seluruh pikirannya harus selalu berkeinginan untuk membangun nilai-nilai peradaban yang baik atau dalam bahasa keagaaman sering disebut dengan masyarkat yang tamaddun, bukannya malah untuk mencari keuntungan prabadi dan kelompok. (3) perbuatan, yakni semua kemampuannya dikeluarkan demi mencapai dan membangun visi yang sudah tertanam di dalam akal tadi, sehingga ketidak adilan, kezhaliman dan penindasan akan dengan sendirinya akan mudah dinegasi di dalam kehidupan kita.
Jika ini semua terbangun dengan baik, maka dengan sendirinya Allah yang akan menolong dan membatu serta menenangkan diri kita. Pantas jika kemudian Allah sangat menekankan pentingnya dzikrullah ini, sebagaimana firman-Nya “ala bidzikrillah thatma’innul qulub” (hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang), bukan sekedar hati sang pendzikir tapi juga semua yang berada disekelilingnya merasa nyaman dan aman.
Dalam ungkapan lain, Imam Ali bin Abi Thalib ketika menjelaskan penjelasan tentang iman, yang pertama kali ia sebutkan adalah “al-khauf bi al-Jalil” hendaknya takutlah kepada Allah. Takut yang dibangun bukan seperti takutnya kita dengan segala hal yang menyeramkan dan menakutkan, akan tetapi takut jika Allah akan meninggalkan, naudzubillah. Sesungguhnya hanya dengan bersama-Nya lah kebutuhan tertinggi kita, apalah fungsi kekayaan jika Allah meninggalkan kita, apalah fungsi kekuasaan jika hanya akan membuat-Mu ya Allah jauh dari kami, maka sesungguhnya hanya Engkaulah tujuan kami.
Ketika visi ini yang dibangun di dalam diri maka apakah masih akan ada politik kotor dalam kepemimpinan kita. Mungkinkah kehendak untuk korupsi masih akan hadir, apakah perasaan sombong dan takabur akan mudah kita telan di dalam diri kita ? Tentunya tidak, karena Sang Maha Suci yakni Allah pasti akan menjaga siapapun yang telah mensucikan kepribadiannya. Namun jika tidak, maka inilah sama seperti yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam firmannya, ketika ada suatu kaum yang diberikan kelebihan segalanya, namun karena ia abaikan Allah dalam dirinya maka dengan begitu mudah pula Allah menghancurkan mereka. Lihat surat al-Nahl ayat 112.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.

HADIRIN SIDANG JUM’AT YANG DIRAHAMATI ALLAH
Step selanjutnya adalah mengenai pengendalian diri dalam gairah cantik dan megahnya kursi kekuasaan, yakni ;
2.  Jangan Meminta-Minta Menjadi Pemimpin.
Mengenai hal ini, Rasulullah saw pernah menasehati Abu Dzar yang saat itu meminta salah satu jabatan sebagai seorang Qadhi atau Hakim, padahal ia juga adalah seseorang yang dekat dengan Rasulullah saw, Beliau bersabda; “Sesungguhnya engkau ini lemah, sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya” [HR Muslim].
Ungkapan Rasulullah saw di atas sejalan dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadanya melalui sejarah Nabi Allah Yusuf as. di dalam al-Qur’an, di mana ketika seorang Raja memintanya untuk menghadap dan diberikan jabatan tinggi di kerajaannya, namun ia (Nabi Yusuf as) tidak menerimanya, namun ia memberikan masukan kepada sang raja agar ia dapat duduk di pos yang memang menjadi keahliannya, dan bukan mencari tempat-tempat “basah” yang kemudian memberikan keuntungan pribadinya semata. Adapun kriteria kemampuan diri itu adalah, ikhlas, amanah, memiliki keunggulan dari kompetitor lainnya, dan jika wewenang itu digunakan oleh orang lain maka akan memunculkan bencana dan keterpurukan. Lihat Tafsir QS Yusuf ayat 55.
Ungkapan lain yang dapat kita gunakan sebagai bahan ajar kehidupan kita adalah hadits Rasulullah yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra. yakni ;
إِذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya : “jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.
Hadirin, sesungguhnya kemampuan untuk memimpin itu adalah anugrah sekaligus laknah, anugrah jika dijalankan secara profesional namun menjadi laknah ketika hanya kebutuhan syahwat dan perut yang dikedepankan. Selanjutnya adalah,
3.  Kuat dan Penuh Dengan Cinta.
Istilah kuat di ambil dari al-Qur’an yang dikenal dengan “al-qawiy al-amin” kuat dan amanah. Imam al-Thabari di dalam kitabnya Tafsir al-Thabari menjelaskan bahwa kata “al-amin” maksudnya adalah kuat secara fisik dan juga kuat secara intelktual. Artinya, seorang pemimpin harus mampu bergerak cepat dalam memimpin demi kesejahteraan siapapun yang dipimpinnya, dan secara intelektual menunjukkan bahwa seorang pemimpin selain harus kerja keras tapi juga harus kerja cerdas.
Mengenai hal ini, saya teringat dengan ungkapan Khalifah kedua umat Islam yakni Umar bin Khattab ra., bahwa “keadaan kalian (rakyat) adalah bergantung dengan keadaanku, jika kalian semua baik maka sesungguhnya aku berusaha untuk itu, namun jika kalian rusak, maka aku yang paling bertanggung jawab tentang hal itu”. Sungguh pemikian seorang pemimpin sejati, adapun yang terjadi saat ini adalah, “jika semua baik itu dariku, tapi jika rusak maka itu kesalahan bawahanku”, al-‘Iyadzu billah.
Adapun tentang rasa cinta atau kasih sayang seorang pemimpin kepada rakyatnya digambarkan oleh Rasulullah beserta para khalifahnya melalui ciuman sayang kepada anak-anak. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa pada suatu hari ada seseorang yang dipanggil oleh Umar untuk diangkat menjadi pemimpin di salah satu negeri Islam, ketika ia melihat Umar sedang menciumi dan bersenda gurau dengan anak-anaknya, lalu ia bertanya tentang prilaku Umar tersebut. Umar-pun menjawab dengan sebuah pertanyaan, “apakah engkau tidak pernah melakukan hal seperti ini ?” dan dijawab “tidak pernah”, maka pada saat itu juga ia mengatakan, “kalau begitu aku tidak jadi mengangkatmu jadi amir, karena rahmat Allah sangat jauh darimu”.
Ungkapan terahir Umar sangatlah menggugah, di mana Rahmat Allah jauh dari orang-orang yang tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Artinya, sinergitas antara pemimpin dengan rakyat dapat dibangun jika sang pemimpin mampu menyayangi siapapun yang akan bekerja bersamanya. Karena meskipun sang pemimpin begitu hebat namun rakyatnya membenci maka tidak ada guna kehebatannya bagi rakyat.
4.  Jangan Mengambil Kesempatan Melalui Jalur Kedekatan Emosional.
Rasulullah saw telah bersabda; “barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhai, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin”. [HR. al-Hakim]. Umar bin Khatab juga pernah berkata; “Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”.
Sungguh tegas ungkapan para petinggi awal Islam ini dalam menegaskan tingginya amanah kepemimpinan. Amanah yang kecil hubungannya dengan manusia namun begitu besar di hadapan Allah. Oleh karenanya, jika yang menjadi petimbangan agung dalam menetapkan para pemimpin adalah karena faktor kedekatan emosi, maka begitu banyak yang akan tersakiti terkhusus bagi mereka yang memang lebih berhak untuk duduk di sana. Dalam hal ini, ada sebuah kaidah berpikir di dalam materi ushul fiqh yakni menelaah dari makna tersirat atau yang dikenal dengan istilah mafhum mukhalafah untuk menelaah prilaku negatif di atas.
Objek kajian dari materi ini adalah adanya dosa jariah bagi yang mengangkat siapapun karena faktor emosi dan bahkan orang yang bukan ahlinya sedangkan ada yang lebih berhak untuk duduk di sana. Dasar awalnya sebagai materi mafhum muwafaqah atau pemahaman yang tersurat adalah hadits tentang amal jariah, di mana amal tersebut akan terus mengalir bagi siapapun yang memberikan manfaat positif bagi semua orang atau sosial. Artinya, jika ada yang memberikan kemudharatan sosial secara tersetruktur, maka dosanya akan terus mengalir meskipun ia telah meninggal dunia, inilah pemahaman terbalik dari tersurat yakni pemahaman tersirat atau yang disebut dengan mafhum mukhalafah, wal’iadzu billah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Rasulullah Muhammad saw ; “barang siapa dalam Islam melestariakan tradisi yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang melaksankan, sesudahnya tanpa menguarangi dosa-dosa mereka sedikitpun” [HR. Muslim].
HADIRIN SIDANG JUM’AT RAHIMAKUMULLAH
Inilah sebahagian kecil kajian ke-Islaman tentang amanah kepemimpinan dalam Islam, semoga dalam perjalan waktu kita ini, Allah swt terus memberikan bimbingan-Nya kepada kita sehingga dapat terlepas dari murka-Nya, amin ya rabbal ‘alamin.
 بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ












7 SIFAT YANG HARUS DIMILIKI PEMIMPIN
الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ، اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين، أما بعد.
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون. قال الله تعالى في القرأن العظيم: {وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ  (الأنبياء: 73)
Ma’asyiral muslimin sidang jum’at Rahimakumullahu,
Setiap orang dalam kehidupan yang fana ini, mempunyai fungsi kepemimpinan, menjadi pemimpin di lingkungannya masing-masing, seperti firman Allah Ta’ala yang dibacakan di awal khutbah tadi. Mengingat besarnya tanggung jawab menjadi pemimpin di dalam lingkungan masing-masing, sesuai dengan ruang lingkup dan daerah teritorial masing-mssing, maka syarat-syarat, sifat-sifat dan akhlak untuk menjadi pemimpin haruslah dimiliki dan dikembangkan.
Pada kesempatan ini, ingin kita uraikan akhlak daripada kepemimpinan yang diperlukan, yang dituangkan oleh khalifah pertama Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, tatkala beliau dilantik menjadi kepala pemerintahan setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Pidato tersebut adalah sebagai berikut:
Amma ba’du, saudaraku sekalian.., sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian menyebar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian… (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah 4/413-414, tahqiq Hamma Sa’id dan Muhammad Abu Suailik)
Dari pidato kenegaraaan khalifah yang pertama itu, dapat disimpulkan 7 macam akhlak kepemimpinan yang perlu dipersunting oleh setiap orang yang akan memegang pimpinan. Dan juga bagi yang memegang pimpinan yang bertanggung jawab, baik pemimpin lingkungan maupun masyarakat, terlebih pemimpin Negara.
Marilah kita uraikan tujuh akhlak atau sifat tersebut satu persatu.
1.       Sifat Rendah Hati.
Banyak para pemimpin yang mulanya dekat dengan rakyat, turun ke bawah, integrasi kepada kaum yang lemah, tapi begitu mempunyai kedudukan, timbullah apa yang disebutkan dalam peribahasa “Kalau hari sudah panas, kacang lupa kulitnya”. Sifat sombong, congkak, tinggi hati sudah mulai nampak, bukan hanya sekedar itu saja, terkadang dia sampai hati menginjak duduk orang yang telah mengorbitkannya atau menaikkannya. Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu menyatakan bahwa pada hakekatnya kedudukan pemimpin tidak berbeda daripada rakyat biasa, bukan karena ia orang istimewa. Tapi hanya sekedar orang yang didahulukan selangkah, yang mendapatkan kepercayaan dan dukungan orang banyak. Di atas pundaknya terpikul satu tanggung jawab yang besar dan berat baik terhadap umat, masyarakat pada umumnya, terlebih lagi terhadap Allah Ta’ala. Sifat rendah hati bukanlah merendahkan kedudukan seorang pemimpin, malah sebaliknya akan mengangkat derajatnya, martabatnya dalam pandangan masyarakat dan orang banyak.
2.       Mengharapkan Dukungan dan Bersifat Terbuka untuk Dikritik.
Setiap pemimpin memerlukan dukungan dan partisipasi rakyat banyak. Bagaimanapun kemampuannya ia tak akan bisa melaksanakan tugas-tugasnya tanpa partisipasi orang banyak. Jika orang banyak tersebut bersifat apatis, tak mau tahu, masa bodoh terhadap segala anjuran dan tindakannya, maka hal yang demikian merupakan tantangan yang berat. Oleh sebab itulah, seorang pemimpin harus terbuka untuk menerima kritik, asal saja sifat kritik itu sehat dan membangun. Janganlah orang yang melontarkan kritik tersebut dianggap sebagai lawan yang perlu dibungkam. Bahkan orang yang berani mengungkapkan kritik, menunjukkan kesalahan, kekurangan seorang pemimpin, justru itulah yang merupakan pastisipasi sejati.
3.       Sifat Jujur dan Memegang Amanah.
Sifat amanah yaitu dipercaya. Dan memelihara kepercayaan orang banyak adalah salah satu sifat kepemimpinan Islam yang penting. Islam mewajibkan kepada setiap muslim dan muslimah untuk menjaga dan memelihara amanah. Seperti yang dijelaskan di dalam al-Qur’anul karim.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً (النساء: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”  (An-Nisa’: 58)
Secara garis besar, ruang lingkup pemeliharaan amanah terbagi menjadi tiga. Pertama, amanah terhadap Allah Ta’ala. Kedua, amanah terhadap sesama makhluk terutama kepada manusia. Ketiga, amanah terhadap diri sendiri.
Memelihara amanah merupakan urat nadi antar hubungan. Apabila amanah itu rusak, maka terurailah segala ikatan, hubungan, putuslah tali temali tujuan yang baik, tata susunan kehidupan akan berantakan, dan pembinaan masyarakat insani akan mengalami kehancuran. Penyelewengan terhadap suatu amanah bukan saja merugikan orang yang terkena penyelewengan tersebut, tetapi akan mempunyai akibat mata rantai yang buruk di dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian memelihara amanah adalah menyerahkan sesuatu urusan atau tanggungjawab kepada orang-orang yang mampu dan cakap, serta memenuhi persyaratan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat.” Dia (Abu Hurairah) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab: ‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!.” (Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, dalam al-Fat-hul)
Sebab itu, seorang pemimpin harus berlaku jujur. Imam Al-Ghazali membagi sifat jujur menjadi enam macam; jujur dalam perkataan, kemauan, niat, memenuhi tekad, perbuatan, menegakkan kebenaran serta menjalankan syare’at Islam.
4.       Berlaku Adil.
Adil ialah menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan cara yang sama dan serupa, tidak pincang dan berat sebelah. Lawannya adalah zhalim. Islam meletakkan soal menegakkan keadilan dan menjauhi kezhaliman sebagai satu sikap hidup yang esensial. Allah Ta’ala memerintahkan sesara umum di dalam alquran:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (النحل:90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
Keadilah haruslah diterapkan dalam segala bidang kehidupan tanpa memandang orangnya, bahkan juga harus berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Abu Bakar Ash-Shiddiq menegaskan bahwa orang yang lemah haruslah dibela dan dilindungi. Orang-orang yang kuat tidak boleh berlaku kejam dan sewenang-wenang.
5.       Komitmen dalam Perjuangan.
Seorang pemimpin haruslah bersikap konsisten dalam perjuangan. Yaitu terus menerus dan lestari dalam berjuang. Jangan acak-acakkan, pada satu waktu semangat tak kunjung padam dan tak kenal menyerah, tapi pada waktu yang lain mlempem dan mudah dijinakkan. Dalam suatu perjuangan menegakkan cita-cita dan kebenaran, pasti akan berjumpa dengan halangan dan tantangan. Halangan tersebut haruslah diatasi, jangan hanya dielakkan, terlebih mundur dan meninggalkan medan perjuangan, hilang tak tentu rimbanya. Disinyalir oleh khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam pidatonya di atas, bahwa orang yang meninggalkan medan juang, apalagi kalau sampai berkhianat, maka ia akan ditimpa kehinaan seumur hidupnya.
6.       Ditaati dan Bersikap Proporsional.
Seorang pemimpin haruslah mengabdikan dirinya kepada misi yang dipercayakan di atas pundaknya. Ia harus mempunyai wibawa terhadap umat yang dipimpinnya, dipatuhi. Jangan ketika berhadap-hadapan muka pengikutnya mengangguk-anggukan kepala dan mengatakan “ya”, karena takut. Sedang apabila di belakangnya mereka mengatakan “tidak”. Seorang pemimpin harus bersedia dan siap mundur apabila ia melakukan penyelewengan. Jangan terus menerus mempertahankan kedudukannya.
7.       Berbakti dan Mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kepemimpinan bersifat manusiawi, mempunyai kekurangan-kekurangan disamping juga mempunyai kelebihan-kelebihan yang menentukan pada tingkat terakhir yaitu petunjuk ilahi dan garis-garis yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus senantiasa menghubungkan dirinya kepada Allah, berbakti kepada-Nya, melaksanakan segala sesuatu yang diridhai-Nya dan menjauhi segala hal yang dimurkai-Nya. Hasil dari sikap berbakti kepada Allah, akan menempa setiap orang terlebih pemimpin agar mempunyai sikap keseimbangan dan istiqamah dalam setiap situasi dan kondisi. Ridha menerima apa yang dapat dicapai, bersyukur apabila mencapai hasil, dan bersabar menghadapi tantangan demi tantangan.
Demikianlah 7 macam sifat kepemimpinan islam yang dapat dipetik dari khutbah khalifah pertama, dan terutama sekali ditujukan kepada yang akan memegang pimpinan dan juga sedang memegang pimpinan.
بارك الله لي ولكم فى القرأن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، أقول قولي هذا وأستغفرالله العظيم لي ولكم ، ولوالديّ ولوالديكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India