Wednesday, May 21, 2014

MEMILIH PEMIMPIN


            Mengacu pada farman Alloh dalam surat Al-anfal ayat 27-28 dapat dimengerti betapa beswar tanggung jawab para pemegang amanat di sisi Alloh. firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ، وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28)
Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah – berargumen dengan ayat ini atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Barangsiapa yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman .
Ibnu Taimiyah melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan kepada anaknya, maka ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan haknya. Ada juga orang, yang karena ingin menambah kekayaan atau demi mengamankan usahanya ia berkolusi untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang yang berlaku demikian, kata ulama yang lebih dikenal dengan syaikhul Islam ini, telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya .
Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama .

Friday, May 9, 2014

HUKUM BACAAN TAFKHIM DAN TARQIQ



A. Pengertian Tafkhim dan Tarqiq
Tafkhim (تَفْخِيْمُ) merupakan masdar dari fakhkhama (فَخَّمَ) yang berarti menebalkan. Sedang yang dimaksud dengan bacaan tafkhim adalah membunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan tebal.
Pada pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa bacaan-bacaan tafkhim itu menebalkan huruf tertentu dengan cara mengucapkan huruf tertentu dengan cara mengucapkan huruf di bibir (mulut) dengan menjorokkan ke depan (bahasa Jawa mecucu), bacaan tafkhim kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ul mufakhkhamah (مُفَخَّمَةٌ).
Tarqiq (تَرْقِيْقٌ)  merupakan  bentuk  masdar   dari   roqqoqo   (رَقَّقَ)   yang    berarti menipiskan. Sedang yang dimaksud dengan bacaan tarqiq adalah membunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan tipis.
Pada pengertian itu tampak, bahwa tarqiq menghendaki adanya bacaan yang tipis dengan cara mengucapkan hurur di bibir (mulut) agak mundur sedikit dan tmpak agak meringis. Bacaan tarqiq kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ulnya, yakni muraqqoqoh (مُرَقَّقَةٌ).
B. Bacaan Tafkhim
Huruf hijaiyah yang wajib dibaca tafkhim terdapat tujuh huruf, yaitu huruf isti’la yang berkumpul pada kalimat: خُصَّ ضَغْطِ قِظْ, kesemuanya harus dibaca tebal.
Contoh:
اُدْ خُلُوْهَا، وَالصَّآفَّاتِ، غَاسِقٍ، فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ، وَالطَّيِّبُوْنَ، فَالْحَقُّ اَقُوْلُ.
Selain ketujuh huruf tersebut harus dibaca tarqiq, kecuali huruf lam dan ra, yang mempunyai ketentuan sendiri.
Pertama, huruf lam tetap dibaca tafkhim jika berada pada lafal jalalah (لَفْظُ الْجَلاَلَةِ), yakni lam yang terdapat pada lafal: dengan syarat agar lam itu didahului tanda baca fathah atau dammah.
Contoh:
صَلاَةُ اللهِ، سَلاَمُ اللهِ، سُبْحَانَ اللهِ، شَهِدَ اللهُ.
Kedua, ra wajib dibaca tafkhim (tebal) apabila:
  • Ra bertanda baca fathah. Contoh:
رَحْمَةَ اللهِ، حَشَرَةٌ، اَلرَّحِيْمِ، اَلْفُقَرَآءَ
  • Ra bertanda baca dammah. Contoh:
اَ ْلاَخْيَارُ، كَفَرُوْا، اُذْكُرُوا اللهَ، رُفِعَتْ
  • Ra bertanda sukun (mati), sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang difathah. Contoh:
مَرْحَبًا، نَرْزُقُكُمْ، مَرْيَمُ، قَرْيَةٍ
  • Ra bertanda suku, sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang didammah. Contoh:
ذُرِّيَّةً، قُرْبَةً، عُرْيَانًا، حُرْمَةً
  • Ra yang bertanda baca sukun, sedang huruf di belakangnya berupa huruf yang dikasrah, namun kasrah ini bukan asli tetapi baru datang. Contoh:
اِرْجِعِيْ، اِرْحَمْ، اِرْجِعُوْا، اَمِ ارْتَابُوْا
  • Ra bertanda baca sukun, sedang huruf di belakangnya berharakat kasrah asli dan sesudah ra bertemu dengan huruf isti’la (حَرْفُ اِسْتِعْلاَءٍ) yang terdapat tujuh huruf yang terkumpul pada kalimat:  خُصَّ ضَغْطٍ قِظْContoh:
يَرْضَاهُ، فُرْقَةٌ، لَبِالْمِرْصَادِ، قِرْطَاسٌ
C. Bacaan Tarqiq
Pertama, huruf lam dibacan tarqiq (tipis), jika huruf lam berada dalam lam jalalah yang didahului huruf yang bertanda baca kasrah. Contoh:
اَلْحَمْدُ ِللهِ، بِاللهِ، مِنْ عِنْدِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ
Semua lam yang tidak berada pada lafal jalalah sebagaimana dijelaskan di atas, maka harus dibaca tarqiq (tipis). Contoh:
لَيَعْلَمُوْنَ، اِلَى اْلاِبِلِ، مِنَ الْعِلْمِ، كَلاَّ لَوْتَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ، بَكُلِّ آيَةٍ
Kedua, huruf ra wajib dibaca tarqiq (tipis) jika:
  • Huruf ra bertanda baca kasrah. Contoh:
رِضْوَانٌ، مَعْرِفَةٌ، رِجْسٌ، سَنُقْرِئُكَ
  • Huruf ra bertanda baca hidup yang jatuh setelah ya mati atau huruf lien. Contoh:
اَلْكَبِيْرُ، مِنْ خَيْرٍ، اَلْبَصِيْرُ، لَخَبِيْرٌ
  • Huruf ra mati dan sebelumnya ada huruf yang berharakat kasrah asli, sedang sesudah ra bukan huruf isti’la. Contoh:
شِرْكٌ، اَاَنْذَرْتَهُمْ، فِرْعَوْنَ، لَشِرْذِمَةٌ

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India