BENARKAH KITA TIDAK BOLEH BERAMAL DENGAN HADIST DHOIF
Hadits
dha‘if, menurut golongan tertentu ,di anggap sesuatu yang remeh dan bahkan
dianggap serta disamakan dengn Hadis palsu, sehingga ketika seseorang
menyampaikan dan menggunakan hadits dha‘if dalam membuat dalil, maka mereka
akan cepat-cepat tertawa dan menolaknya.
Hal tersebut
muncul karena sikap fanatik, minimnya pengetahuan serta di kuasai nafsu syahwat
tampil menyelisih, lantaran menolak hadits dhaif secara mutlak adalah sangat
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh ulama-ulama Islam (ijma’)
bahwa hadits dha‘if boleh diamalkan dalam hal fadha’ilul ‘amal
(keutamaan-keutamaan amal), mau‘idzah (nasehat) dan lain-lain. Selain itu, juga
bertentangan dengan ketetapan madzhab 4, karena Imam Abu Hanifah, Ahmad bin
Hanbal, Malik bin Anas menerima hadits mursal (salah satu jenis hadits dha‘if)
dan menerimanya dalam membuat hujjah secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan
menurut asy-Syafi‘i hadits mursal juga boleh dijadikan hujjah jika ada hadits
mursal lain atau hadits musnad yang sama dengan isi matannya.
Klasifikasi
hadits dapat dibagi menjadi 2:
1. Maqbul,
(diterima ) yaitu hadits shahih dan hasan; baik shahih li dzatih (asli shahih)
atau shahih li ghairih (hadits yang semula hasan kemudian terangkat derajatnya
menjadi shahih karena ada penguat baik berupa syahid atau mutabi‘), hasan li
dzatih (asli hasan) atau hasan li ghairih (hadits yang semula dha‘if kemudian
terangkat derajatnya menjadi hasan karena adanya penguat baik berupa syahid atau
mutabi‘). Dan hadits-hadits tersebut mutlak boleh dibuat dalil atau hujjah
tanpa ada khilaf.
2. Mardud
(ditolak) yaitu hadits-hadits dha‘if termasuk hadits mursal.
Sedangkan
dalam sisi mengambil hujjah dari hadits dha‘if, ulama masih berselisih pendapat:
1. Tidak
bisa diamalkan mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hafizh Ibnul ‘Arabi dan
kemudian diikuti al-Albani dan pengikut-pengikutnya.
2. Bisa
diamalkan mutlak, pendapat sebagian kecil ulama .
Imam Ahmad
bin Hanbal mengatakan: “Boleh mengamalkan hadits dha‘if jika dalam satu masalah
tidak ada hadits lain dan tidak ada hadits yang menentangnya.” Pendapat ini
juga disetujui Abu Dawud. Lihat Madza fi Sya‘ban hlm. 77 dan Hasyiyah al-Fath
al-Mubin Ibni Hajar karya Hasan bin Ali hlm. 95.
3. Di-tafshil,
jika berkaitan dengan akidah, tafsir dan hukum (halal atau haram), maka tidak
boleh , kecuali hadits dha’if tersebut diterima para ulama (baik dalam fatwa
dan pengamalan) , maka diperbolehkan mengambil hujjah dari hadits dha’if
tersebut.
An-Nawawi
dalam al-Adzkar mengatakan: “Kecuali untuk berhati-hati seperti ketika ada
hadits dha‘if yang berbicara tentang makruhnya jual beli atau nikah, maka
dianjurkan untuk menghindarinya meski tidak wajib. Lihat al-Adzkar hlm. 8.
Seperti
hadits ”Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba". Hadits ini
dinilai mayoritas ulama (selain al-Ghazali dan Imam al-Haramain) adalah hadits
dha‘if dan semestinya tidak boleh dibuat hujjah dalam hal keharaman hutang yang
menerik keuntungan. Namun, karena adanya ma‘na (pendapat) yang sama dari
shahabat, maka hadits ini dapat dibuat hujjah. Lihat I‘anah ath-Thalibin
3/65.
dan Jika
berkaitan dengan fadha’ilul ’amal (keutamaan-keutamaan amal), manaqib (cerita),
targhib dan tarhib (untuk motifasi menggembirakan atau menakut-nakuti dalam
amal) dan mau’izhah (nasehat), maka menurut mayoritas ulama (Ahlussunnah wal
Jama’ah) boleh diamalkan bahkan sunnah dengan syarat-syarat:
1. Tidak
dha‘if sekali
2. Niat
berhati-hati dalam mengamalkan
3. Masuk
kaidah secara umum yang bisa diamalkan .
(Lihat
al-Adzkar an-Nawawi hlm. 7-8 dan al-Fath al-Mubin dan hasyiyah Hasan bin Ali
al-Muddabighi hlm. 95)
Sedangkan
hadits yang dha‘if sekali jika mempunyai banyak riwayat dan saling menguatkan
antara satu dengan yang lain juga bisa dibuat hujjah (dalam fadha’ilul ‘amal),
begitu menurut al-‘Allamah ar-Ramli .
( Lihat
dalam Madza fi Sya'ban karya Sayyid Muhammad hlm. 79.)
Ibnu Shalah
mengutip dari al-Hafizh Ibnul ‘Arabi al-Maliki, bahwa tidak boleh mengamalkan
hadits dha‘if secara mutlak (baik dalam hukum halal-haram maupun fadha’ilul
‘amal). Namun, pendapat tersebut ditolak ulama lain, di antaranya adalah Sayyid
Alawi al-Maliki. Beliau mengatakan: “Mengherankan sekali pendapat yang
dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnul ‘Arabi tersebut, karena sesungguhnya mengamalkan
hadits dha‘if adalah untuk memperoleh keutamaan dengan adanya tanda dha‘if dan
tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan). Lagi pula, mungkin maksud dari Ibnul
‘Arabi tersebut adalah hadits yang sangat dha‘if sehingga dianggap gugur dari
derajat untuk dibuat hujjah atau sekadar I‘tibar sekalipun.”
( Pendapat
Sayyid Alawi tersebut ditulis dalam kitab al-Manhal Lathif fi Ahkam al-Hadits
adh-Dha‘if dan dinukil Sayyid Muhammad dalam Madza fi Sya'ban hlm. 80. Pendapat
tersebut dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam mukaddimah al-Fath al-Mubin
syarah Arba‘in Nawawiyyah beserta hasyiyah Hasan bin Ali. )
Sayyid
Muhammad ‘Alawi mengatakan bahwa mengamalkan hadits dha‘if dalam fadha’ilul
‘amal adalah mujma‘ ‘alaih (konsensus ulama) seperti yang dituturkan an-Nawawi
dalam kitab-kitabnya, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan at-Tsauri, Sufyan
bin ‘Uyainah, al-Anbari dan lain-lain . Keterangan senada, bahwa mengamalkan
hadits dha‘if adalah mujma’ ‘alaih, adalah apa yang disampaikan oleh al-Allamah
Ibnu Hajar al- Haitami dalam al-Fath al-Mubin dan al-Fatawi al-Kubra bab puasa.
Di antara
ulama yang menyetujui boleh mengamalkan hadits dha‘if adalah al-Hafizh
al-‘Iraqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, Zakariyya al-Anshari, as-Suyuthi, al-Laknawi
dan lain-lain . ( Al-Manhal Lathif Ushul al-Hadits asy-Syarif hlm. 52-53.)
Dari
keterangan di atas, memilih pendapat pertama berarti menyelisih mayoritas
Ahlussunah wal Jama‘ah bahkan ijma’ ulama. Oleh sebab itu, memilih pendapat
pertama dan menganggap yang paling benar (artinya pendapat yang kedua dan
ketiga adalah salah) seperti yang dipilih ulama-ulama Wahhabi -Nashiruddin
al-Albani dan sefaham dengannya- adalah bentuk ketidakjujuran dalam memilih
pendapat ulama. Apalagi jika sampai melakukan penghinaan atau menilai jahil
(bodoh) orang-orang yang tidak sependapat dengan dirinya, yakni memilih
pendapat mayoritas ulama (pendapat ketiga). Karena hal itu semakin menunjukkan
ekstrimisme dalam menjalankan syariat Allah dan semakin jauh dari perilaku yang
diajarkan oleh Rasulallah dan shahabat-shahabatnya. So berdalil dengn Hadist
Dho`if sesuai dengn syrat2 diatas jelas jelas sependapat dengna mayoritas
Ulama....kenapa mesti minder?
0 comments:
Post a Comment