إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ
مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمّ
صَلَّ وَسَلَّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.يَاأَيّهَا الَّذَيْنَ
آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ يَاأَيُّهَا النَاسُ
اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي
تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيُّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ…فَأِنَّ أَصْدَقَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله
عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Kaum Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat kepada kita, nikmat yang amat banyak, berupa nikmat iman, Islam, nikmat sunnah dan nikmat sehat, sehingga kita masih bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
Marilah kita bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat kepada kita, nikmat yang amat banyak, berupa nikmat iman, Islam, nikmat sunnah dan nikmat sehat, sehingga kita masih bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
Hari ini khatib akan
berbicara tentang kewajiban seorang muslim terhadap pemimpinnya. Sebelum kita
lebih lanjut menjelaskan bagaimana kewajiban seorang muslim terhadap
pemimpinnya, kita awali dulu penjelasan siapa mereka Amirul Mukminin?
Barangsiapa memegang
tampuk kekuasaan, dan kondisi sosial menjadi stabil pada saat kekuasaannya,
maka dia dinamakan Amirul Mukminin, baik berkuasanya itu dengan cara syar’i
atau tidak. Yang dimaksud dengan syar’i adalah amir yang ditunjuk
langsung oleh imam sebelumnya, seperti yang terjadi pada kekhilafahan ‘Umar bin
al-Khaththab, atau dia terpilih melalui musyawarah ahlu halli wa al ‘aqdi,
seperti ‘Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Adapun jalan yang tidak syar’i
adalah dengan menggunakan kekuatan dan senjata sehingga kondisi sosial stabil
di tangannya, maka dia juga dinamakan Amirul Mukminin yang wajib kita
taati.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “Barangsiapa yang menang atas peperangan dengan menggunakan pedang
sehingga ia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang dinamakan Amirul
Mukminin, maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak mengang-gapnya sebagai seorang
pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun jahat.” (Al-Ahkam as-Sulthaniyah
karya Abu Ya’la.)
Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah
Ahlu Sunnah wal Jamaah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya:
Ahlu Sunnah wal Jamaah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya:
1. Meyakini wajibnya baiat terhadap penguasa.
Ketahuilah bahwa orang yang menjadi
khalifah secara suka-rela, di mana manusia sepakat dan ridha kepadanya, atau
karena khalifah tersebut dapat menundukkan mereka dengan kekuatan sehingga ia
menjadi khalifah, maka mereka wajib taat kepadanya dan haram keluar dari
ketaatan kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا
حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa melepaskan
ketaatan (dari penguasa) niscaya ia akan menjumpai Allah dalam kondisi tanpa
memiliki hujjah. Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan baiat maka kematiannya
seperti kematian jahiliyyah.” (HR. Muslim).
Hadits yang mulia ini
menunjukkan wajibnya berbaiat kepada seorang penguasa yang telah mampu
mengendalikan kondisi sosial di bawah kekuasaannya, dan haram untuk keluar dari
ketaatan terhadap penguasa tersebut; baik dia shalih atau fajir.
2. Menaati mereka dalam perkara yang makruf
Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,
Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا
طَاعَةَ.
“Wajib atas seorang
muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai
dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah
berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari, no. 7144; dan Muslim, no. 1839).
Dan tentang ini Ahlus
Sunnah sepakat bahwasanya taat kepada penguasa (pemerintah) adalah
wajib. Berikut ini adalah sejumlah kutipan dari ulama-ulama besar Ahlus
Sunnah tentang wajib-nya taat kepada pemimpin dan akibat buruk dari
membangkang:
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Para ulama telah sepakat atas
wajibnya taat kepada pemimpin yang menang (dalam memperebutkan kekuasaan) dan
wajib jihad bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada membangkang
kepadanya, karena hal tersebut akan mencegah pertumpahan darah dan menciptakan
ketenangan rakyat.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Orang-orang yang memberontak kepada pemimpin, pasti akan
menimbulkan keru-sakan yang lebih besar daripada kebaikannya.” (Minhaj
as-Sunnah).
Akan tetapi kewajiban
taat kepada penguasa tersebut diberi batasan sendiri oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan sabdanya,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.
“Tidak boleh taat
terhadap perintah bermaksiat kepada Allah, sesung-guhnya ketaatan itu hanya
dalam hal yang makruf.” (Muttafaq Alaih)
3. Memberi nasihat kepada mereka dengan cara yang
baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Jihad yang paling utama adalah mengatakan
ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.”
Jama’ah jum’at
yang dirahmati Alloh!
Menasihati penguasa
hendaklah dengan menggunakan adab dan cara tersendiri, jangan
sampai disamakan seperti menasihati rakyat biasa. Hendaklah lemah
lembut, secara diam (tidak terang-terangan), tidak menyebut-nyebut keburukan
dan kesalahan mereka di khalayak ramai dan di atas mimbar. Sebagaimana
dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ
عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa yang ingin
menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah dia menampakkannya
secara terbuka, tapi hendaklah dia menggenggam tangannya dan mengajaknya
berduaan dengannya, jika ia menerima darinya, maka itulah yang diharapkan, dan
jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya terhadapnya.” (HR. Ahmad )
4. Tidak Mengadakan Kudeta (Pemberontakan).
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengharamkan keluar dan memberontak kepada pemimpin mereka jika pemimpin
berbuat dosa selain kekufuran, hendaklah sabar jika hal tersebut terjadi,
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada
mereka dalam segala hal selain maksiat, dan tidak boleh memeranginya selama
tidak melakukan kekufuran yang nyata, mereka tidak boleh diperangi sehingga
nampak kekufuran yang nyata dan kejelasan yang dapat dibuktikan. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ،
وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ
الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ
وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.
“Sebaik-baik pemimpin
kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan
mereka dan mereka mendoakan kalian. (Dan sebaliknya) Seburuk-buruk pemimpin
kalian ada-lah yang kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian
melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.’ Lalu para sahabat bertanya,
‘Wahai Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka dengan pedang?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak, selama ia menegakkan shalat di antara kalian. Dan Apabila
kalian melihat dari pemim-pin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka
bencilah amalnya dan janganlah kamu melepaskan (diri) dan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855).
Ketahuilah bahwa
kezhaliman penguasa berawal dari dosa yang kita perbuat, maka janganlah menolak
keburukan dengan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن
كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu,
maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura’: 30).
Imam al-Hasan al-Bashri
berkata, “Ketahuilah -semoga Allah mengampuni Anda- bahwa kejahatan pemimpin
itu merupakan salah satu bentuk murka Allah, dan murka itu tidak dapat dihadapi
dengan pedang, akan tetapi dicegah dan ditolak dengan doa dan taubat, kembali
ke jalan Allah dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya murka Allah
itu bila dihadapi dengan pedang, maka murka tersebut akan lebih parah.”
Diceritakan bahwa al-Hasan al-Bashri
pernah mendengar seseorang mendoakan al-Hajjaj dengan keburukan, maka dia
berkata, “Janganlah kamu berbuat demikian, -semoga Allah merahmati kamu.
sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah disebabkan perbuatan diri
kalian sendiri. Sesungguhnya kami khawatir seandainya Hajjaj dicopot dari
jabatannya atau wafat, justru akan datang seorang pemimpin yang berwatak kera
atau babi.” (Adab al-Hasan, karya Ibnu Jauzi: 119).
5. Mendoakan Mereka
dengan Kebaikan.
Mendoakan para pemimpin
dengan kebaikan, hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang ditempuh salafush
shalih.
Al-Imam al-Barbahari
berkata, “Jika Anda melihat orang yang mendoakan keburukan kepada pemimpin,
ketahuilah bahwa ia termasuk pengikut hawa nafsu, namun bila Anda melihat orang
yang mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk
ahlu sunnah.”
Al-Imam al-Fudha`il bin
‘Iyad berkata, “Seandainya saya mem-punyai doa yang mustajab pasti tidak akan
saya panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin.” Kita diperintahkan agar mendoakan
kebaikan bagi mereka, dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan bagi
mereka, walaupun mereka jahat dan zhalim, karena kezhaliman mereka akan
berakibat fatal bagi dirinya sendiri, dan kebaikan mereka juga untuk dirinya
sendiri dan untuk kaum muslimin. .
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذا، وَأَسْتَغْفِرُ اللّهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ,
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
0 comments:
Post a Comment